(Alasan Mengapa - 1)

1.1K 154 3
                                    

Taeyong pergi ke kamar Haechan dan Jisung, duduk di pinggir ranjang sambil mengamati wajah anak-anaknya yang tertidur pulas. Dia tidak tahu ke mana perginya rasa kantuk itu. Jadi Taeyong hanya duduk dan membelai lembut rambut Jisung, seraya menyelipkan doa di setiap hembusan napasnya agar anak-anak bahagia. Lalu dia berbarik di samping tubuh Jisung dan mulai berbisik pelan, "Jisung, kalo nanti kamu enggak kenal sama Papa, jangan pernah benci sama Papa kamu ya. Haechan juga. Papa kalian, sebenernya, orang baik kok."

Matanya sibuk mengamati wajah anak-anak, sementara pikirannya melanglang buana. Pergi entah ke mana, berselancar dalam angan, entah terwujud atau tidak. Barang sedikit pun, Taeyong tidak dapat memejamkan matanya. Lagi, dia memijat pelipisnya. Dia sama sekali tidak mengerti kenapa harus terjadi.

Pada akhirnya, dia tidak ingat sudah berapa lama dia terjaga. Kemudian dia bangun. Dibandingkan terus menerawang jauh, Taeyong memilih bangkit dan melakukan beberapa hal. Menonton televisi misalnya. Apa pun itu, selama dia dapat menghilangkan pikiran-pikirannya yang tidak karuan.

Kakinya melangkah pelan, tidak ingin menimbulkan suara yang akan mengganggu tidur anak-anak. Namun kakinya berhenti melangkah begitu sampai di depan pintu kamarnya sendiri. Taeyong memegang knop pintu dan memutarnya pelan, kepalanya menyembul ke dalam. "John," panggilnya pelan.

Namun tidak ada jawaban. Jadi Taeyong memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya dan melihat apa yang terjadi. Dia duduk di atas kasur, memperhatikan wajah Johnny yang tertidur dengan alis bertaut dan keringat yang mengalir deras. Taeyong langsung memeriksa pendingin ruangan, tapi tidak ada yang salah dengan pendingin ruangan. Seharusnya Johnny tidak berkeringat seperti itu.

"John...." Taeyong kembali memanggil Johnny dengan pelan. "John, bangun dulu." Taeyong masih berusaha memanggil Johnny dengan mengguncang-guncangkan tubuh Johnny. "John-"

"HAH!"

Johnny terbangun dan terduduk dengan mata yang membelalak kaget. Dia melihat ke sekeliling dan mendapati Taeyong yang melihatnya dengan tatapan khawatir. "Aku ... enggak ... teriak ... kan?" tanyanya begitu dia melihat wajah Taeyong, sementara Taeyong hanya menjawab dengan gelengan pelan. Johnny menghela napasnya panjang, air mukanya berubah menjadi lebih rileks.

Taeyong tidak pernah melihat air muka Johnny yang seperti itu sebelumnya.

"Have you seen it?" tanya Johnny. Matanya memandang lurus wajah Taeyong, sementara Taeyong sebisa mungkin mengalihkan pandangannya. "You've seen it, right, Tae?" Johnny bertanya lagi. Jelas sekali dari tingkah Taeyong bahwa Taeyong telah melihatnya. Sisi lain dari seorang Johnny Suh. Jadi, Taeyong mengangguk kecil. "It's okay. Mungkin, ini sudah waktunya aku buat kasih tau kamu."

"Apa?"

"My deepest secret."

Tidak. Taeyong tidak pernah meminta untuk diceritakan apa pun; mungkin-ya, hanya mungkin-dalam hatinya yang terdalam dia mengharapkan sebuah cerita. Sama halnya dengan dia mengharapkan alasan mengapa Johnny selalu seperti itu terhadap anak-anak. Lagi, mungkin, Taeyong akan menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini.


-o-


Bangunan yang luas, megah, dan mewah itu menjadi tempat tinggalnya sejauh yang dapat diingatnya. Orang-orang yang bekerja di sana juga sudah lama mengenalnya, sama seperti teman yang selalu menemaninya bermain. Bangunan ini dan lingkungannya adalah taman bermain terluas. Tak peduli sejauh apa pun berlari, sebanyak apa pun menggowes pedal sepeda, masih banyak sudut yang belum terjamah. Menyenangkan untuk dieksplor.

Namun pakainnya berkata tidak. Setiap dia ingin berlari, seseorang akan mengangkat tubuhnya dengan telapak tangan besar yang terselip di kedua ketiak yang kecil itu, dan wajahnya akan merengut kesal. Begitu pun begitu dia ingin mengeluarkan sepedanya, akan ada tangan-tangan yang selalu menahan tubuhnya dan berkata jangan.

WOUND | JohnyongWhere stories live. Discover now