08

9.3K 991 17
                                    

"Oh itu Radit, tetangga gue. Udah yuk mulai ngerjain aja." Bibir Dimas membulat sambil mengangguk mantap.

Keheningan menemani mereka yang  serius mengerjakan tugasnya masing-masing yang tadi telah Rara bagi. Agar lebih cepat selesai, katanya.

Ting!

Suara notifikasi dari ponsel Rara menarik perhatian Dimas. Cowok itu melirik sekilas pada ponsel yang terletak tak jauh darinya.

Dimas tertegun, saat bola matanya menangkap gambar karakter favoritnya menjadi latar lockscreen Rara.

"Lo suka anime Ra?" Sontak, Rara mendongak menatap Dimas dengan bola mata membulat. Beberapa saat terdiam, melihat Dimas menunduk menatap ponselnya. Dengan cepat, Rara menarik ponsel dan menyimpannya di saku.

Rara berdehem, "ehm, nggak semua, cuma beberapa aja." Rara menunduk, berpura-pura sibuk dengan susunan kalimat dalam buku materi Bahasa Indonesia di depannya.

Jantung Rara berdegup kencang, dalam hati ia merutuki kebodohannya yang menunjukan sisi lain dirinya. Rara yakin, Dimas pasti akan men-cap dan mengiranya aneh mulai sekarang.

"Wah! Sama, dong! Gue juga suka sama attack on titan lho, gak nyangka ternyata lo suka juga." Dimas terkekeh, sontak Rara menatap Dimas dengan binar mata yang memancar.

Rara terkesan, ini pertama kalinya berjumpa orang lain yang memiliki kesukaan yang sama dengannya. Tokoh yang tadi dilihat Dimas adalah Levi yang Rara jadikan lockscreen di ponselnya.

"Eh, iya nih, gue suka banget sama ceritanya, juga sama levi, karakter favorit gue," ucapnya sambil terkekeh. Rara kembali membuka ponselnya, lantas menatap gambar Levi di sana.

Dimas tertawa kecil. "Sama dong, Ra." Rara saling menatap dengan Dimas beberapa saat, saling melempar simpulan kecil yang menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

Dimas dan Rara kembali mengerjakan tugasnya sambil bercerita banyak hal. Ternyata, ada cukup banyak hal yang sama antara Dimas dan Rara. Membuat keduanya merasa pas dan nyambung saat mengobrol.

***

Di luar, langit sudah menggelap dan seluruh lampu sudah dinyalakan. Ayah juga sudah pulang dari kantor. Pukul tujhg malam merupakan waktunya makan malam. Dimas sibuk membereskan buku dan memasukkan dalam tas hitamnya.

"Dimas, makan bareng aja yuk, ini udah waktunya makan malem loh," tawar ibu dengan suara lantang, terdengar tengah berjalan mendekat dari dapur.

Dimas tersimpul, lantas menggeleng kecil. "Ah, nggak usah tante, ngerepotin aja saya, saya mau langsung pulang aja tante," tolaknya halus.

"Eh, nggak kok, kan jadi makin rame kalo kamu makan di sini, sekali-kali juga, yuk."

"Sekali-kali, Dim. Gak baik loh, nolak rezeki." Dimas terdiam beberapa saat, tampak berpikir. Ia menatap Rara, lantas menatap ibu. Cowok itu menghela napas, lalu tersenyum kaku.

"Ya udah, maaf ya tante, saya malah ngerepotin gini."

"Hus! Nggak kok, tante malah seneng jadi rame, hihi. Yuk itu ayah udah nunggu di meja makan." Ibu melambaikan tangannya, mengajak kedua remaja itu menuju ruang makan. Rara dan Dimas segera menuju ruang makan yang sudah tersedia berbagai macam makanan. Dan benar saja terlihat ayah sudah duduk dengan sepiring nasi di depannya.

"Kelean lama ah, ayah udah laper nih" Dimas terkekeh mendengar ucapan ayah temannya ini. Mereka lalu makan malam dengan tenang, setelah selesai, ayah dan Dimas berbincang tentang bola yang kebetulan mereka menyukai tim yang sama. Sedangkan ibu dan Rara yang tak mengerti segera beranjak dan membereskan piring kotornya.

"Tante, om, Ra, saya pulang dulu ya, makasih makan malemnya, maaf ini saya malah ngerepotin" setelah selesai berbincang, Dimas segera pamit dengan alasan sudah malam, padahal memang betul saat ini sudah malam.

"Engga ngerepotin kok"

"Iya Dim, ngga repot sama sekali. Kapan kapan kesini lagi ya, kita nonton bareng kalau ada kejuaraan" ayah lalu terkekeh, senang jika ia akan mendapat teman menonton pertandingan sepak bola. Karena ibu dan Rara yang tak begitu menyukai sepak bola enggan diajak nonton bersama.

"Siap om" Dimas lalu tersenyum hangat. Matanya lalu beralih pada Rara yang sedari tadi menatap kagum pada Dimas.

"Gue balik dulu ya, Ra. Tugas akhirnya biar gue aja yang ngetik" Rara tersenyum lalu mengangguk. Rara semakin kagum saja kepada Dimas. Baru saja bertemu hari ini tapi seolah Dimas sudah mampu akrab dengan ayah dan ibu. Kalau saja ini adalah PDKT menuju pernikahan, Rara pasti sangat senang.

"Astaghfirulloh Ra, sadar! Gila lo masih kecil aja nikah nikahan. Astaghfirulloh" batin Rara. Ia menggeleng berusaha mengehilangkan hayalan absurdnya.

"Ati ati ya Dim" ucapan Rara dibalas anggukan oleh Dimas yang sesaat kemudian melajukan motornya meninggalkan rumah Rara.

Rara lalu masuk dan menutup sekaligus mengunci pintu utama rumahnya. Ia lalu ikut duduk bersama ayah dan ibu yang sudah duduk terlebih dahulu di ruang keluarga.

"Dimas anaknya baik Ra?" Ayah yang tengah berkutat dengan ponselnya sendiri tiba tiba bertanya pertanyaan semacam itu pada Rara. Sontak Rara tersedak dan terbatuk, tentu saja Rara terkejut. Selama ini Rara tidak pernah sekalipun berbicara membahas tentang seseorang laki laki bersama orang tuanya.

"B-baik" Rara berusaha tampak biasa saja walau kegugupannya sudah terbaca oleh ayah dan ibu.

"Ah masih gantengan Radit tau yah" ibu ikut menimpali ucapan ayah, sekarang justru mereka akan membandingkan Radit dengan Dimas.

"Iya, tapi nanti kalo sama Dimas kan ayah bisa nobar bola, bu" ayah tak mau kalah dengan ibu yang mengunggulkan ketampanan Radit.

"Lagi pula Dimas juga temen laki laki Rara yang pertama main ke rumah kan" tambah ayah yang membuat semangat debat ibu membara.

"Ah ayah aja ngga tau, temen laki laki Rara yang pertama dateng ke rumah itu, Radit yah. Jadi Dimas ada satu langkah di belakang Radit" kata ibu tak mau kalah.

"Dimas juga keliatan pinter, dan tau banyak hal" Rara mulai jengah, bagaimana mungkin mereka berdebat seolah tengah memilih calon suami untuk gadis yang berusia 17 tahun ini?

"Lagian ya, keluarga Radit latar belakangnya udah jelas, ibu tau dan kenal seluk beluk Vaida, ibunya Radit. Dan ibu pasti seneng kok kalo besanan sama sahabat ibu sendiri"

"Aduuuh udah deh yah, bu. Rara tuh masih 17 tahun, belum mau mikir nikah segala, ini ayah sama ibu malah debat pilih calon suami buat Rara. Gimana coba kalo jodoh Rara orang bule? Ngga tau kan kita" Rara mulai jengah dengan perdebatan ayah dan ibunya yang dia kira tak penting itu.

"Aduuh, ngga mau Ra, kamu jangan sama bule"

"Tapi kalo jodoh, mau gimana lagi coba bu? Kan Alloh swt udah ngejatahin jodohnya Rara siapa"

"Yaudah gih, kamu request aja jodoh mu yang orang pribumi" Rara memutar bola matanya jengah. Bisa bisanya ayah dan ibu sudah memilih calon suami untuknya, padahal Rara baru berusia 17 tahun.

Mana mungkin Rara mau menikah setelah lulus SMA, Rara mempunyai cita cita yang akan ia raih sebelum ia menikah nantinya.

"Oiya bu, tadi Radit pulang jam berapa?" Rara seketika teringat dengan Radit yang tadi Rara usir secara tersirat.

"Jam 5an deh kayanya, habis makan puding di dapur, terus dia pamit pulang" Rara merasa tak enak pada Radit. Tadi Rara seolah mengusir Radit, ia yang sangat perasa pasti marah padanya. Rara berencana memberikan sesuatu untuk Radit besok.

Rara lalu kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri dan menyiapkan buku yang akan dibawanya esok hari.

-

Tbc...

Hai haii❤ maaf baru up setelah seminggu menghilang😂 kemarin satu minggu ada penilaian akhir semester, jadi ngga ada waktu buat ngelanjutin ceritanyaa

Buat yang sama lagi penilaian akhir semester semangat yaa semoga dapet nilai yang memuaskan, hihi.

Ikutin terus cerita Rara dan Radit yaa

Terimakasih yang udah baca❤

My Idiot Best Friend (END)✅Where stories live. Discover now