Bab Dua Puluh

1.6K 320 28
                                    

"A-Apa maksud Yang Mulia?" tanya Thomas tergagap-gagap. "Tidak mungkin Tuan Carolus merencanakan kudeta."

Will melirik sinis ke arah Thomas. "Mungkin kalian bingung dengan ucapanku barusan, tapi aku tidak pernah mengatakan sebuah omong kosong."

"Kalau begitu Yang Mulia memiliki bukti mengenai hal ini?" tanya Aaron.

"Tentu saja," jawab Will percaya diri. "Selama dua minggu ini aku melakukan penyelidikan tentang kasus orang hilang di Lamian dan Wade. Kalian tahu, aku menemukan hal menarik lainnya dalam penyelidikan itu."

Raut wajah Carolus berubah menjadi pucat pasi. Beberapa peluh terlihat menuruni wajahnya.

"Seperti yang kalian tahu, istana sudah menganggarkan bantuan untuk Lamian dan Wade sampai tahun depan. Namun, nyatanya bantuan itu tidak pernah sampai ke tangan masyarakat karena bantuan tersebut dirampas di tengah perjalanan oleh sekelompok perampok yang diperintah oleh Paman," lanjut Will.

"Itu tidak mungkin!" bela Thomas. "Bisa jadi mereka berbohong. Kenapa Yang Mulia bisa percaya pada ucapan mereka yang tidak kredibel itu?"

"Kau tidak perlu khawatir, Tuan Thomas. Aku mendengarnya dari kesatriaku yang menggunakan sihir pembuka ingatan pada pemimpin kelompok itu. Dan juga menyaksikan prosesnya. Jadi, sudah dipastikan kalau sumber informasi ini sangat kredibel."

Thomas tidak bisa mengembalikan kata-kata Will.

"Paman menggunakan istana sebagai tameng ketika masyarakat Lamian dan Wade bertanya, membuat hal ini seolah-olah keputusan dari istana, keputusanku," lanjut Will. "Tidak hanya itu, Paman juga menyebarkan perintah palsu atas namaku untuk mewajibkan semua laki-laki di Lamian dan Wade menjadi prajurit.

"Membuat sebuah pasukan tentu membutuhkan banyak biaya dan kebutuhan, terlebih jika dibuat secara diam-diam. Melakukan sabotase dan menimbun bantuan adalah salah satu cara licik untuk mengurangi besarnya biaya yang harus dikeluarkan.

"Tujuan akhir dari membuat pasukan adalah perang, tapi sayangnya raja yang memimpin kerajaan ini tidak menyukai perang. Maka dari itu, raja yang tidak suka perang ini harus turun dari kursi takhta agar kerajaan ini bisa menyatakan perang ke kerajaan lain.

"Seseorang bisa disebut sebagai raja jika ia diakui oleh rakyat dan kerajaan lain. Kurasa bukan hal yang sulit untuk mengubah pandangan rakyat terhadap rajanya. Sebuah rumor kalau raja yang mereka kagumi sudah berubah menjadi raja diktator kurasa sudah cukup memicu pemberontakan dari rakyat.

"Bukankah strategi ini hebat? Bisa membuat pasukan untuk melawan raja sekaligus menciptakan pemberontakan di masyarakat. Benar-benar strategi yang sempurna untuk melakukan kudeta.

"Yah ... itu tadi hanya hasil pemikiranku saja. Jika Paman memang tidak berniat membuatku turun dari kursi takhta, bagaimana Paman menjelaskan semua tindakan ini?"

Ekspresi wajah Carolus mengeras. Kedua tangannya terlihat mengepal di bawah meja. Thomas, Aaron, dan Marcus yang duduk di dekatnya menyadari hal itu. Namun, mereka tidak bisa membela dan hanya terdiam dengan kepala tertunduk. Mereka tahu kalau tidak ada celah di deduksi yang Will ucapkan.

Carolus bangkit dari kursinya. "Tolong maafkan aku, Will," ucapnya sambil membungkukkan badan. "Aku tahu kalau tindakanku ini lancang, tapi sebenarnya bukan begitu niatku."

Alis Wil berkedut. "Apa maksudmu?"

Laki-laki paruh baya itu berhenti membungkuk dan menatap Will. "Memang benar aku membuat pasukan, tapi pasukan itu bukan untuk menyerangmu melainkan untuk mempersiapkan perang perdana Walta setelah begitu lama vakum.

"Alasanku membuat pasukan ini juga untuk memperkuat wilayah perbatasan Walta dengan Souna karena akhir-akhir ini mereka cukup aktif melakukan pergerakan."

Jilid I. Celena and The Born of New Sword [END]Where stories live. Discover now