Menjenguk

195 24 10
                                    

Arif meremas telapak tangan kirinya yang terasa dingin. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit saat itu. Jantungnya berdetak semakin kencang. Ia menunggu apa yang hendak Fajar katakan setelahnya, tapi cowok di seberang sana terdiam tanpa mengeluarkan suara untuk beberapa saat.

Teman-teman Arif menatapnya dengan sorot mata bertanya, tetapi tidak digubris oleh cowok itu. Ia sendiri masih dalam keterguncangan atas apa yang dikatakan oleh Fajar.

"Gue nggak mengada-ada karena gue bukan orang gila. Mamanya sampe pingsan gara-gara ini," papar Fajar dengan nada suara yang berbeda. Sedih dan marah. "Berengsek," umpatnya.

Arif masih terdiam. Ia menunggu apa yang hendak Fajar katakan selanjutnya.

"Kalo lo dan temen-temen lo mau jenguk, silakan." Setelah mengatakan itu, Fajar memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.

Arif menghela napas berat. Ia duduk dan meletakkan ponselnya di atas meja.

Cowok itu mengusap wajah kasar. Ia menatap satu persatu wajah teman-temannya yang masih memasang wajah bertanya.

"Kenapa, Rif?" tanya Rizal. Ketegangan tergambar jelas di wajah cowok itu.

"Noval koma. Mamanya sampe pingsan. Kita perlu minta maaf sama keluarganya."

"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un," ucap Rizal. Teman-temannya yang lain langsung mengucap kata serupa.

Rizal menunduk. Wajahnya pucat. Ia memandang Arif dengan sorot mata bersalah.

"Maaf, ya. Gara-gara gue—"

"Nggak usah minta maaf terus, Zal," potong Arif. "Lebih baik kita sokongan aja gimana buat ngeringanin biaya perawatannya Noval?"

"Gue aja gimana? Gue nggak enak ngerepotin kalian," ujar Yose.

"Nggak papa, Zal. Kita di sini saling bantu," bantah Abim. Teman-teman yang lain menyerukan kalimat serupa.

"Bener, Zal. Masa kita diem aja padahal lo kesusahan," tambah Arif. "Apa pun yang terjadi nanti, kita hadapi sama-sama. Jangan ada yang merasa bersalah."

"Fajar nggak bilang apa-apa lagi selain itu?" tanya salah satu temannya.

Arif menggeleng. "Tapi, kita harus selalu siaga. Untuk hal terburuk yang bakal terjadi."

"Oke." Teman-temannya mengangguk-angguk.

"Kira-kira apa Fajar bakal balas dendam dengan nyerang markas kita, atau salah seorang dari kita?" tanya Rizal. Ia yang wajahnya paling kalut di antara mereka.

"Menurut kalian?" Ia bertanya pada teman-temannya.

"Bisa jadi ia balas dendam sama elo, Zal," sahut Abim sambil menoleh padanya. "Lo harus hati-hati."

"Iya. Maka dari itu, pastiin lo harus bisa selalu dihubungi."

"Oke," kata Rizal sembari mengangguk.

"Jadi, sekarang kita pulang ke rumah masing-masing dulu. Siap-siap buat jenguk sama kumpulin uang yang mau dikasih ke Noval. Berangkat bareng. Kita ketemuan di sini," perintah Arif kemudian berdiri.

"Siap," balas teman-temannya. Mereka membereskan toko dan bengkel. Menutup pintunya dan pulang untuk kemudian berkumpul di sini lagi, kemudian pergi ke rumah sakit tempat Noval dirawat.

"Hati-hati. Nggak usah buru-buru," nasihat Arif sebelum melajukan motornya.

Teman-temannya mengiyakan sambil mengacungkan jempol mereka. Satu persatu dari mereka meninggalkan tempat itu dan menuju ke rumah masing-masing.

Storm and Cross (TAMAT)Where stories live. Discover now