Harapan dan Pengakuan

218 24 6
                                    


Aurora duduk sambil memeluk lututnya. Ia duduk di depan jendela. Memandang keluar. Menatap langit yang berwarna hitam tanpa satu pun terlihat bintang.

"Arif, kan lo bilang bakal dateng. Itu beneran, kan?" tanyanya pada kesunyian yang memeluknya kala itu.

"Gue pengen pulang, Rif," katanya dengan suara pelan. Aurora menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Di sini dingin. Gue juga takut."

Mata Aurora sudah berkaca-kaca dan sesaat kemudian air mata mengalir dari pelupuk matanya, membasahi pipi langsatnya.

"Ini apa sih, Rif? Gue diculik. Ya, gue diculik sama Fajar. Seandainya gue nggak sendirian di rumah, seandainya gue tinggal sama orang tua gue, mereka pasti akan nyariin gue. Tapi sayangnya nggak, Rif. Gue tinggal sendirian. Ayah nggak ada lagi di dunia ini, dan bunda nggak bisa selalu ngehubungi gue, apalagi tau kalo gue diculik. Cuma elo yang tau, kan? Ya. Cuma elo yang tau. Sekarang lo di mana, Arif? Gue kedinginan di sini! Gue pengen pulang!"

Tangis Aurora pecah. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada kedua lututnya.

"Arif, elo nggak mati, kan? Nggak, kan? Jangan mati dan jangan kenapa-napa. Karena gue pengen lo dateng dan bawa gue pulang dari sini," pintanya di sela-sela tangisannya.

"Maaf. Maaf, kalo karena gue lo sering merepotan. Maaf, ya. Tapi itu juga keinginan elo, kan? Lo nggak pernah merasa keberatan, kan? Gue seneng banget Rif, kenal sama elo. Gue seneng ada orang yang peduli sama gue. Gue seneng lo selalu mikirin keselamatan gue. Gue seneng dan gue berterima kasih banget sama elo. Makasih."

Tangisan Aurora semakin kencang. Bahunya naik turun seirama tangisannya.

Tanpa ia sadari, pintu ruangan itu terbuka dan Fajar berjalan mendekatinya. Cowok itu berdiri beberapa langkah di belakangnya. Menatap punggungnya yang naik turun karena sedang menangis.

Fajar ingin tahu seberapa lama ia menangis. Maka cowok itu hanya berdiri di belakangnya tanpa melakukan apa pun.

Kurang dari satu hari di sini, Fajar merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa sayang muncul begitu saja di hatinya. Ia sama sekali tidak ingin menyakiti Aurora. Namun, ia ingin tahu seberapa besar cinta di antara Arif dan cewek itu.

Fajar ingin memilikinya. Ingin menjadikan Aurora seseorang yang spesial di hatinya. Tidak takut dan tidak membencinya. Ia ingin cewek itu menganggapnya cowok baik-baik. Seperti Aurora menganggap Arif cowok baik-baik. Mungkin itu tidak akan terjadi. Mungkin, Aurora akan tetap membencinya dan mencap dirinya cowok berengsek. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin dianggap cowok baik-baik. Yang punya hati dan perasaan. Tidak dibenci olehnya dan tidak dicap berengsek olehnya. Bisa, kah?

Ternyata, rasa iseng yang semula hadir di hatinya telah berganti menjadi cinta. Ia telah jatuh cinta pada cewek itu. Cewek yang telah jatuh cinta kepada rivalnya. Cewek yang telah mempercayai rivalnya dan benci setengah mati padanya.

Tangisan Aurora perlahan mereda.

"Fajar suka sama gue. Apa ini cara dia buat dapetin gue? Dengan cara begini, gue nggak bakal suka balik sama dia. Yang ada gue malah tambah benci sama dia!"

Cewek itu menangis lagi. Tak kalah keras dari yang tadi.

Fajar memang menakutkan, ya? Tidak, Aurora. Fajar tidak ingin menyakiti kamu. Fajar hanya berusaha untuk memperjuangkan perasaannya. Maaf, karena caranya begini buruk.

"Gue mau pulang," kata Aurora di sela-sela tangisannya.

Fajar akan menunggu Arif datang. Ia ingin tahu kehebatan cowok itu. Apakah ia bisa menemukan dirinya? Memang mustahil. Karena tempat ini hanya ia yang tahu. Kemungkinan Arif bisa ke sini itu nol. Tapi, apa yang tidak mungkin di dunia ini? Semuanya mungkin. Jadi, Fajar akan memberi batas waktu untuk Arif menemukan dirinya.

Storm and Cross (TAMAT)Where stories live. Discover now