Bersama Fajar

207 22 13
                                    

Ramaikan dengan komentar, ya. 😚😚


Fajar meletakkan ponselnya di dasbor mobil setelah mengirimkan pesan pada Yose tentang di mana Arif berada.

Ia beralih menatap Aurora pada yang terbaring tak sadarkan diri di jok belakang. Ia telah menempelkan kain basah ke pelipis cewek itu yang agak memar. Cowok itu menghela napas pelan. Ia terpaksa membuat Aurora pingsan. Tak ada cara lain selain itu untuk bisa membawanya pergi.

Fajar melihat keluar jendela. Malam sebentar lagi datang. Ia tersenyum hambar. Apa yang cewek itu katakan jika dirinya sudah sadar nanti? Pasti kata berengsek, najis, dan sebagainya akan cewek itu lontarkan untuknya.

Fajar ingin tahu, seberapa tidak sukanya Aurora padanya. Seberapa bencinya ia pada Fajar. Seberapa jijiknya ia pada dirinya. Dan seberapa takutnya ia padanya.

Ia takut pada Fajar? Kenapa? Apakah Fajar terlihat seperti monster? Karena apa? Apa karena ia playboy?

***

Aurora merasakan pipinya dingin. Ia membuka matanya perlahan dan menemukan wajah Fajar yang sedang tersenyum padanya di depannya. Sekitar setengah meter dari wajahnya.

"Hai. Udah bangun?" sapanya ramah. "Pelipis lo sakit, nggak?" tanyanya yang tidak dibalas oleh cewek itu.

Sedikit. Aurora merasakan pelipisnya sedikit sakit.

Aurora menggerakkan badannya, dan menemukan kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya. Gesekan tali itu membuat kulit tangannya perih.

"Maaf, ya. Sementara gue iket dulu," ujar Fajar dengan raut tak berdosa. Cowok menyodorkan sebotol air mineral yang tadi ia tempelkan ke pipi Aurora. "Minum," katanya.

Aurora tidak menjawab. Ia membuang wajahnya dari cowok itu dan menatap sekeliling ruangan yang ia tempati sekarang.

Ia berada di ruangan dengan jendela kaca besar yang ada di sebelah kanannya. Tidak ada apa-apa di ruangan itu selain dirinya yang duduk di lantai dengan kedua tangan yang diikat erat, Fajar dan berjongkok di depannya, serta beberapa botol air mineral dan bungkusan di belakang Fajar yang entah apa isinya.

Di mana ia sekarang? Dan Arif. Bagaimana dia?

"Arif mana?" tanyanya.

"Nggak tau gue," jawab Fajar sambil mengangkat bahu.

"Arif mana?!"

"Kalo gue bilang dia gue buang ke sungai, lo percaya?"

Aurora memandang Fajar tajam. Ia mengatupkan bibirnya erat-erat.

"Ngomong yang bener!" bentaknya.

"Gue nggak tau dan nggak mau tau di mana Arif. Bodo amat," ucap Fajar tak peduli.

"Dasar gila! Lo gila! Sinting!" maki Aurora. Ia benci sekali dengan cowok di depannya ini.

"Ya. Gue gila. Sinting. Apalagi setelah ketemu sama elo," aku Fajar. Cowok itu menghela napas panjang kemudian berkata, "Gue gila, apalagi waktu ketemu lo. Tambah gila, Au."

Aurora merasakan bulu kuduknya berdiri. Rasa takut mulai menghinggapinya. Keringat dingin mulai mulai membasahi dahi dan telapak tangannya. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit.

"Gue mau pulang," kata Aurora.

"Lo mau pulang?" tanya Fajar. Cowok itu mendekatkan dirinya pada Aurora. Membuat cewek itu memundurkan kepalanya ke belakang sampai menyentuh tembok.

"Tapi gue nggak mau lo pulang. Lo di sini aja, ya," katanya dengan suara pelan.

Wajah Aurora sudah pucat pasi saat itu. Ia berkali-kali menelan ludah dengan susah payah.

Storm and Cross (TAMAT)Where stories live. Discover now