Prolog

221K 11.4K 193
                                    

Gemercik air hujan membangunkan wanita dua puluh delapan tahun, pakaian yang ia kenakan masih sama seperti kemarin. Pakaian kantor yang belum sempat ia ganti karena rasa kantuk yang menyerang. Diliriknya jam di atas nakas, pukul 06.00 tepat, dengan gerakan malas dia beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi.

 Tak berselang lama wanita bernama lengkap, Aletta Hidralika atau yang biasa di panggil Letta itu keluar dari kamar mandi. Segera dia pilih pakaian yang akan ia kenakan untuk bekerja hari ini, setelah cocok dengan baju yang dia kenakan ia menatap sekeliling kamarnya yang berantakan. Pemandangan yang menyakiti mata sebenarnya. Namun, bagaimana lagi dia tak sempat untuk membereskan itu semua, pergi pagi pulang malam selalu menjadi rutinitasnya setiap hari. Dia hanya sempat untuk membuka jendela saat sebelum dia berangkat kerja.

Disibaknya gorden yang menutupi jendela, spontan matahari pagi langsung menembus kamarnya yang tadinya remang-remang kini terang. Sisa-sisa air hujan terlihat dari kamar, aroma hujan yang menyegarkan langsung masuk kedalam indra penciuman Letta.

"Selamat pagi matahari, selamat pagi hujan, selamat pagi rumput, dan selamat pagi langit." Jangan katakan dia gila, karena hanya benda-benda itulah yang dapat dia sapa setiap harinya.

Tak ada kata, 'Selamat pagi Ibu, Ayah', dia tinggal sendirian di rumah itu, bukan berarti dia tak punya keluarga. Dia punya keluarga, tetapi tak ada yang menganggap keberadaannya. Ibunya ialah seorang sosialita yang menghambur-hamburkan uang, kini ibunya tinggal bersama kakek-neneknya. Sedangkan ayahnya ialah seorang abdi negara yang tak pernah dia lihat lagi keberadaannya setelah 7 tahun belakang ini. Pernikahan kedua orang tuannya tak mendapat restu dari kedua belah pihak keluarga, dan akhirnya seperti sekarang. Dia memilih tinggal sendiri daripada setiap harinya dia dianggap tak ada, namun kenyataannya dia ada.

Diambilnya dua lembar roti tawar tanpa selai dan langsung dia lahap, dua gelas air sudah memenuhi lambungnya. Kini dia siap untuk berangkat memulai aktivitas nya seperti biasa. Kehidupan yang monoton.

"Aku minta uang." Baru saja Letta membuka pintu rumah langsung di sambut todongan tangan dari seorang wanita paruh baya bergaya glamor.

"Oh, uang keluarga anda sudah habis ternyata, sampai-sampai meminta kepada saya, yang nyatanya orang tak punya," balas Letta dengan suara datar andalannya.

Mira, ibu kandung Letta yang hanya datang kepadanya jika membutuhkan Letta. Bukan maksud Letta untuk bertindak kurang ajar kepada ibu kandungnya, tetapi dia hanya tak mau jika ibunya itu terus-menerus menghabiskan uang tanpa guna.

"Berani kamu sama, Ibu?! Enggak usah banyak omong, cepet kasih aku uang!" seru Mira tak sabarnya.

"Enggak ada," balas Letta yang langsung mengunci pintu rumah dan beranjak meninggalkan halaman rumah.

"Kalau kamu enggak mau kasih saya uang! Kamu harus mau menikah dengan anak temanku!" Suara Mira menghentikan langkah Letta.

"Dalam mimpi Anda saja, Mama."

Dan setelahnya, Letta tak peduli lagi dengan kalimat-kalimat Mira. Dia terus melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tanpa peduli dengan Mira yang berteriak memakinya.

Mobil yang Letta kendarai berhenti di area gedung perusahaan tempatnya bekerja. Sebuah perusahaan real estate yang mulai merambah kanca internasional.

Memasuki area kantor tak ada yang berani menegur Letta, mereka menunduk antara takut dan hormat. Letta tak peduli dengan keadaannya yang seperti di jauhi para karyawan, 'dia bekerja mencari uang bukan mencari teman', itu prinsipnya.

Alasan mereka, para karyawan menjauhi Letta karena Letta memang terkenal galak dan mudah marah. Letta memang tak main tangan saat marah, tetapi kata-katanyalah yang lebih tajam dibandingkan tangannya.

Kedudukan Letta saat ini adalah Sekertaris CEO, beruntunglah mereka para karyawan yang tak harus berurusan dengan Letta langsung. Letta sendiri disibukan oleh jadwal-jadwal pemimpinnya setiap harinya.

"Selamat pagi, Pak!" sapa Letta kepada pria paruh baya yang menduduki hirarki tertinggi di perusahaan.

"Selamat pagi, Letta. Seperti biasa tanpa senyum," ujar pak Surya atasan Letta. Jarang sekali bagi pak Surya untuk melihat senyum sekertaris nya itu, yang selalu dia lihat hanyalah wajah datar Letta atau wajah penuh amarah.

"Letta tolong kamu kosongkan jadwal suami saya hari ini," ujar wanita paruh baya yang baru saja keluar dari ruang pribadi yang berada di dalam ruang CEO. "Kau tau, putraku pulang hari ini. Dan suamiku berencana untuk langsung menempatkan dia di kursi CEO hari ini juga."

Letta mengangguk patuh, dia tahu jika Pak Surya dan istrinya memang ingin cepat-cepat agar putranya itu segera menduduki kursi CEO. Pak Surya yang sudah tak muda lagi dan juga putranya yang selalu hura-hura itu, memang perlu diberikan sebuah hukuman agar putra pak Surya lebih menghargai uang.

Selama hampir 4 tahun Letta bekerja dengan pak Surya belum pernah sekalipun dia bertemu dengan anak dari pasangan kaya raya yang ada dihadapannya ini. Yang dia tahu hanya namanya saja, Alan Pradana Dewa.

***

Seorang pria yang baru saja turun dari pesawat itu, sedang mencari-cari orang yang katanya akan menjemputnya saat dia tiba. Tak lama seorang pria yang dia ketahui sebagai asisten ayahnya menghampiri. Tanpa basa-basi kini dia sudah berada di dalam mobil yang akan mengantarnya menemui kedua orang tuanya.

"Oh, putraku. Selamat datang sayang!" seru istri pak Surya memeluk pria yang baru saja datang, yang tak lain adalah putranya yang baru saja pulang dari jadwal tur dunianya.

"Hello ma, pa. Kenapa kalian meminta bertemu di sini? Kenapa tak dirumah saja? Aku benar-benar lelah, Ma," rengek Alan. Ya, namanya Alan.

"Cih, laki-laki manja. Sana kau pergi ke kantor Papa. Kau sekarang adalah CEO yang menggantikan Papa. Penyambutanmu akan di adakan seminggu lagi," ujar pak Surya tanpa basa-basi lagi, dia sudah muak dengan tingkah laku putranya. Salahkan dia yang tak bisa mendidik Alan menjadi pribadi yang baik. Saat kecil semua kemauan Alan selalu ia turuti hingga saat ini Pak Surya sadar jika semua yang dia lakukan telah membuat Alan menjadi ketergantungan dengan orang tuanya.

"What?! CEO?" seru Alan tak percaya menatap kedua orang tuanya. "Oh, no!"

"Tak ada penolakan." putus pak Surya.

"No ... no ... no ...! Apa Papa enggak takut kalau perusahaan Papa bangkrut di tangan ku? Ayolah, Pa. Ini belum saatnya untuk aku menggantikan Papa di perusahaan," tolaknya lagi.

"Papa enggak peduli! Mau bangkrut maupun hancur sekalian itu perusahaan. Toh, nantinya kamu juga yang bakal rugi, tak ada lagi uang untukmu hura-hura," ucap pak Surya sarkas, "dan jika tidak sekarang? Mau kapan? Saat papa mati?"

"Pa, jangan ngomong gitu," suara Ratih--istri pak Surya--menengahi.

Alan menghela napas kasar, dilepasnya kacamata yang sedari tadi bertengger di atas hidungnya itu. Terlihat jelas jika dia benar-benar frustasi dengan permintaan ayahnya itu.

"Baiklah, aku akan menggantikan, Papa."

Tbc.

Rabu, 17 Juni 2020

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Where stories live. Discover now