Chapter 29

71K 5.4K 53
                                    

"Singkatnya, tadi itu adalah perjodohan kamu, dan kamu memintaku datang supaya perjodohan itu batal?" ujar Letta menyimpulkan.

Alan mengangguk membenarkan, ia was-was jika saat ini Letta akan marah kepadanya.

"Oh," balas Letta tanpa keterangan apa-apa lagi. Kini ia lebih memilih memakan sate yang baru saja di sajikan oleh mas-mas penjualnya.

Ada beberapa orang yang menatap mereka aneh, jujur pakaian yang sekarang mereka berdua kenakan sama sekali tak cocok untuk makan di kaki lima seperti ini.

Mengabaikan tatapan orang-orang Alan mulai mengajak Letta berbicara kembali. "Kamu tak marah'kan?"

"Tidak." Geleng wanita itu acuh.

Mereka menikmati makan malam ala kadarnya itu, Letta benar-benar butuh asupan energi setelah berbicara dengan ayahnya tadi, tentu saja ia tak akan menyangka akan bertemu ayahnya di sana.

Walaupun hubungan mereka tak membaik, tetapi Letta jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Dia harapan setelah ini mereka sama-sama melanjutkan hidup tanpa saling mencampuri satu sama lain. Namun, Letta lupa jika darah lebih kental daripada air mau bagaimana pun Letta mengelak ayahnya pasti akan selalu ada dalam setiap kejadian di hidupnya.

Letta mungkin sudah membereskan hubungannya dengan ayahnya, tetapi ia tak sadar jika masih ada ibunya si penggila harta yang belum ia bereskan.

Malam mulai dingin dan jalanan pun mulai sepi saat mereka pulang. Mereka tak terlibat percakapan yang berat hanya sesekali bertanya tentang sesuatu hal yang tak penting.

Tiba-tiba Letta teringat tentang pertanyaan yang ingin ia tanyakan sedari rapat hingga lupa.

"Kenapa kamu memilih ide ku untuk acara ini?" celetuk Letta.

"Tentu saja karena menarik, ya awal ya aku ingin menolak mentah-mentah dan memilih ide dari divisi perancangan, tetapi sepertinya mendaki gunung tak terlalu buruk," jawab Alan berhenti tepat di lampu merah.

Letta menatap Alan sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk. Mereka sama-sama terdiam memandang ke depan dimana, sampai akhirnya lampu kembali menyala hijau.

"Ini kunci mobilnya," ujar Alan menyerahkan kunci mobil Letta.

"Kamu bawa saja, ini sudah malam sulit untuk menemukan taxi," balas Letta menolak, ya tadi mereka pulang menggunakan mobil Letta pasalnya Alan tadi berangkat bersama kedua orang tuanya, dan saat mereka kembali ke restoran, kedua orang tua Alan sudah duluan pulang.

"Emm baik lah aku pulang," gumam Alan.

Dia mengatakan ingin pulang tetapi sama sekali tak beranjak dari tempat ia sekarang berdiri. Letta menatapnya bingung.

"Emm ... bulannya cantik, aku pulang."

Letta terdiam menatap punggung Alan, dia benar-benar dibuat bingung dengan perkataan Alan barusan. Ada sebuah istilah jika seorang pria memuji bulan artinya ia tengah menuju pasangannya, dan apakah sekarang itu berlaku? Apa baru saja Alan memuji Letta cantik?

Ah, entahlah Letta tak suka di buat bingung seperti ini. Segera ia masuk ke dalam rumah. Bocah-bocah SMA yang berkumpul sebelum ia berangkat sepertinya sudah bubar, terbukti saat Letta sampai tak akan satupun bocah-bocah SMA itu di sini.

***

"Lo ada kabar tentang Sera, Let?"

"Enggak ada, kata ibu kostnya di dah pindah udah lama."

"Aish! Itu anak kenapa pakek ngilang sih," gerutu Tey.

Ya, Sera belum juga di ketahui keberadaannya oleh mereka. Tiba-tiba Sera keluar dan menghilang bak ditelan bumi.

Mereka berdua sudah berusaha mencari Sera namun tak kunjung mendapatkan hasil, hingga akhirnya kini mereka pasrah menunggu saatnya tiba dimana Sera sendiri yang akan mendatangi mereka.

"Btw, mobil lo kemana? Enggak biasanya lo minta jemput," tanya Tey sembari mengemudikan mobil.

"Di bawa bos."

"Kok bisa?! Eh, tapi gue perhatiin lo sama pak bos makin deket aja, akur nih?" goda Tey.

"Apaan sih!" seru Letta kesal.

Tey tertawa keras, bahkan sampai mereka keluar dari mobil Tey belum ada niat untuk berhenti tertawa. Dia merasa lucu saja dengan temannya ini, Letta selalu menyangkal jika ia dan Alan mulai berhubungan baik. Belum lagi ekspresi Letta yang sok galak tapi wajahnya bersemu merah.

Sangat menggemaskan.

"Berisik, diam!" geram Letta, marah.

Sontak Tey langsung menutup mulutnya walaupun sesekali ia tak bisa menahan tawanya itu, mereka terpisah saat Tey keluar dari lift.

Saat Letta sampai di mejanya tiba-tiba Alan datang, wajahnya terlihat kusut tak cocok untuk pagi ini yang begitu cerah.

Alan bahkan tak melihat Letta, ia langsung masuk ke dalam ruangannya begitu saja.

"Permisi, pak. Ini jadwal Anda hari ini," ujar Letta menyerahkan jadwal-jadwal Alan hari ini.

"Terimakasih kamu boleh keluar."

"Ada apa dengannya?" gumam Letta.

Ia berjalan keluar dari ruangan Alan, baru saja ia akan menduduki diri. Telepon dari lobi menyuruhnya untuk turun. Ada seorang wanita yang ingin bertemu dengannya, itu yang di katakan oleh resepsionis.

Dan Letta sudah tahu siapa tamu yang ingin bertemu dengannya ini, dia memutuskan akan menyelesaikan semuanya hari ini. Dia benar-benar ingin terlepas dari mereka.

***

"Ayo kita selesaikan sampai di sini saja. Berapa uang yang Anda inginkan?"

"Mama enggak butuh uangmu yang mama inginkan kamu tinggal bersama mama dan nenek, dengan begitu harta warisan ayah akan ada di tangan mama."

"Pada akhirnya kalian tak ada yang berubah," gumam Letta terkekeh sinis. "Apa Mama pernah merasa bahagia sekali saja, karena Letta?"

Mira membeku di tempat, ia melihat wajah Letta yang tengah menatapnya juga dengan mata berair. Ia tak bisa menjawab, Mira sendiri pun bingung harus menjawab apa.

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Where stories live. Discover now