Chapter 20

60.6K 5.4K 23
                                    

Tiga hari telah berlalu, kini Letta sudah di perbolehkan untuk pulang. Ya, akhirnya ia diharuskan untuk rawat inap selama tiga hari, dan selama tiga hari itu juga bergantian orang yang menemaninya. Di hari pertama Alan dan Xa lah yang menemaninya, dan di hari ke-dua Tey yang menemaninya, lalu dihari terakhir Sera lah yang menemaninya.

Kini Sera tengah membereskan pakaian Letta sedangkan Letta ia duduk di atas kasur sembari memainkan ponsel.

"Cuma ini doang baju lo?"

"Iya."

"Nah, beres!" seru Sera menutup tas ransel kecil.

"Yuk, pulang," tambah Sera.

Letta mengangguk semangat, dia sudah sangat ingin pulang ke rumah.

Sesampainya di lobi rumah sakit Sera memutuskan untuk memesan taksi online saja, tapi belum sempat ia pesan, sebuah mobil berhenti di depan mereka tepat.

"Cepet banget pesannya."

"Gue belum pesan kali, nih liat. Blm juga gue teken enter mobil dah di depan mata aja. Kenalan lo kali," balas Sera menunjukan layar ponselnya. Letta menggeleng jika ia tak ada kenalan yang akan menjemputnya dari rumah sakit.

Namun, pertanyaan demi pertanyaan akhirnya terjawab saat kaca jendela mobil turun.

"Hai, ayo masuk. Gue yang bakal nganter lo pulang!"

"Xa?"

"Yes, i'm ... kenapa?" ujar Xa menaikan sebelah alisnya. "Udah cepet masuk, panas nih."

Letta dan Sera saling berpandangan, ya sedikit terkejut untuk Letta saat mengetahui Xa lah orangnya. Perlu di garis bawahi hanya sedikit terkejut. Dan Sera? Jelas dia mematung saking terkejutnya.

"L-lo aja yang ikut dia, gue enggak kuat. Gue pulang naik taksi aja, bye!" bisik Sera menyerahkan tas ransel kecil itu ke tangan Letta dan langsung berlari menghentikan taksi yang kebetulan lewat.

Mau tak mau Letta masuk kedalam mobil Xa, mobil berjalan dengan santai membelah jalanan. Tak ada percakapan berarti hanya saat Xa bertanya maka Letta akan menjawabnya, itupun dengan singkat dan padat.

"Apa lo benci sama gue?" celetuk Xa tiba-tiba.

"Tidak, kenapa?"

"Gue ngerasa lo semakin jauh. Oky gue akui kita juga enggak deket, cuman gue yang sok deket sama Lo. Tapi gue ngerasa jarak di antara kita berdua sekarang itu sudah sangat jauh, lebih jauh dari sebelumnya," jelas Xa dengan pandangan mata yang fokus ke jalanan tanpa melihat Letta sama sekali.

"Apa mungkin karena pekerjaan gue, yang buat lo jauhin gue? Dua hari yang lalu aja, lo seakan enggan buat bicara sama gue. Jangankan bicara liat gue aja enggak. Ya, walaupun lo sering giniin gue sih, tapi yang ini tuh beda." Kini barulah ia melihat Letta.

Letta sendiri menatap jengah Xa, hingga akhirnya ia berbicara, "Udah bicaranya? Kamu ini ngomong apa?! Enggak jelas. Hanya orang yang bodoh yang akan memandang rendah pekerjaan orang lain. Dan semua yang kamu rasakan itu, hanya sugesti yang kamu buat sendiri. Jangan berbicara ngelantur lagi, saya ingin tidur." Setelahnya ia memejamkan mata guna menghindari percakapan yang menyulut emosi. Dia sangat tak suka jika harus terjebak dalam kondisi seperti ini.

Lumayan panjang untuk ukuran berbicara dengan Xa, ya Letta sama sekali belum pernah berbicara panjang dengan Xa, dan itu membuat Xa sedikit senang.

Apalagi jawaban yang Letta berikan membuatnya berkali-kali lipat lebih membuatnya senang.

***

"Kenapa Anda disini, Pak?" tanya Letta heran mendapati Alan yang berdiri di depan rumahnya dengan membawa separsel buah di tangannya.

"Ada tamu itu disuruh masuk, bukannya di interogasi," celetuk Alan yang langsung nyelonong masuk tanpa perlu ijin.

Alan langsung menjatuhkan diri di sofa dan di taruh ya parsel buah yang ia bawa.

"Tadi pulang naik apa?" tanya Alan memecah keheningan.

"Mobil," jawab Letta singkat.

"Bagaiman keadaan mu? Sudah sehat?" Meluncur lah pertanyaan yang Alan tahan sedari tadi. Sebenarnya ia ingin langsung beratnya saat Letta membukakan pintu tadi, tapi dia terlalu gengsi.

"Seperti yang Anda lihat, saya baik-baik saja."

"Baguslah, berarti besok kamu sudah bisa mulai berkerja." Lagi-lagi soal pekerjaan. Benar-benar muak jika harus mendengarnya lagi dan lagi.

Alan mengumpati mulutnya yang selalu menyerahkan alasan yang sama terus menerus  dia sendiri sama sekali tak ada niat untuk mengatakannya. Tapi mulutnya seakan sudah di setting otomatis untuk selalu mengatakan alasan setelah pertanyaan yang ia lontarkan.

Menghilangkan suasana canggung yang lagi-lagi akan menyelimutinya jika hanya berdua dengan Letta, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Hingga ia melihat baskom yang terdapat di samping sofa.

"Apakah atapnya belum di perbaiki?" tanya Alan menatap kearah atas, terlihat jelas bekas rembasan air.

"Kenapa tak meminta seseorang untuk memperbaikinya, tukang servis atau siapa lah. Bisa runtuh atapnya jika terus di biarkan sepeti ini," lanjut Alan mengomentari.

"Saya tak memiliki waktu untuk itu," jawab Letta yang juga kini menatap atap rumahnya yang bisa dikatakan miris untuk ukuran rumah minimalis modern.

Alan menghela napas kasar, di gulung lah kemeja yang ia kenakan hingga sesiku dan ia lepas dasinya lalu dibuka satu kancing bagian atas. Letta yang melihat kelakuan Alan mulai was-was, pikirannya sudah kemana-mana.

"Ada tangga?"

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Where stories live. Discover now