Chapter 19

59K 5.3K 18
                                    

"Kenapa kamu tidur di kantor?" Aku bertanya kepada Letta yang tengah memeriksa jadwalku.

"Hanya ingin," jawabnya tanpa keterangan lagi.

Aish, seharusnya ku tak bertanya kepadanya.

Hari ini aku ada meeting di sebuah restoran dan sekarang kami berdua sedang dalam perjalanan, Letta hanya diam dan akan berbicara jika ku tanya saja. Hubungan bos dan karyawan yang sangat kaku.

Mungkin dulu ku mempertahankan Letta di sisiku, maksudnya mempertahankan Letta tepat menjadi sekertaris ku hanya untuk menyiksanya, tapi sekarang sepertinya niatku sudah berubah. Ku mempertahankannya karena kinerja dia yang bagus, mungkin? Entahlah niatku itu tak ada yang tahu bahkan aku sendiri pun bingung apa niatku untuk mempertahankannya di sini.

"Kita sudah sampai, Pak." Ku mengangguk dan langsung keluar dari mobil di ikuti Letta.

Sesampainya di dalam restoran ternyata lawan meeting ku sudah berada di tempat. Tanpa basa-basi lagi kami langsung memulai meeting dan beberapa kali Letta akan menimpali perkataan ku sebagai penjelas.

Meeting berakhir dalam 2 jam, cukup melelahkan karena kita harus terus berbicara supaya pihak lawan tertarik dengan kami. Bahkan terlihat jelas keringat bercucuran di pelipis Letta, ya mungkin karena cuaca yang panas dan juga karena kelelahan hingga ia berkeringat.

Tanpa kusadari tanganku bergerak dengan sendirinya menghapus keringat itu. Namun, saat tanganku menyentuh permukaan kulitnya rasa panas terasa di tanganku. Apakah dia sakit? Kembali ku perhatikan dia yang kini sudah menatapku juga. Wajahnya sedikit pucat walaupun tak terlalu terlihat mungkin karena make up yang dia pakai, matanya pun terlihat lelah.

"Apa kamu sakit?" tanyaku dan kembali menempelkan telapak tangan di dahinya. Dan benar rasa panas di dahinya sangat terasa di tanganku.

"Tidak, saya baik-baik saja," elaknya menyingkirkan tanganku dari dahinya.

"Tak usah mengelak, ayo kerumah sakit."

"Tidak perlu saya baik-baik saja."

"Jika kau sakit maka aku yang akan rugi, jadi lebih baik kau menjadi kucing penurut sekarang Letta."

***

Sepesial Letta

Ada apa dengannya sekarang? Kenapa dia kekeh sekali memintaku untuk pergi ke rumah sakit. Apa dia peduli denganku? Ya, itu pemikiran awalku sebelum akhirnya mendengar jawaban yang sudah pasti dari nya.

"Jika aku sakit maka aku yang akan rugi, jadi lebih baik kau menjadi kucing penurut sekarang Letta."

Benar-benar membuat kepalaku tambah pusing.

Mungkin karena aku yang kemarin memutuskan tidur di kantor yang super dingin itu. Jika saja para pengawal ayahku itu tak ada di rumah kemarin mungkin aku tak akan seperti ini sekarang.

"Eh, lo di sini, Wa? Loh, ada Letta juga ternyata. Apa kabar Letta?" Oh, no! Jangan sekarang. Kenapa dia harus berada disini, membuat keadaanku tambah buruk saja.

"Eh, Xa. Kok disini?"

"Habis makan sama mantan," jawabnya, "kok lo enggak jawab pertanyaan gue?"

"Baik," jawabku singkat.

"Tukang kibul Xa, ni bocah jangan dipercaya, dia lagi demam tapi pas aku ajak kerumah sakit malah enggak mau," sahut Alan menatapku sebal.

"Beneran lo sakit? Lebih baik lo kerumah sakit deh, Ta." Nah, ini yang aku tidak mau pasti pria yang berprofesi sebagai DJ itu akan ikut-ikutan menyuruhku untuk kerumah sakit.

Ingin ku menolak lagi namun tiba-tiba pukulan yang cukup keras mendarat di tengkukku dan gelap.

***

Sinar lampu yang begitu terang berada tepat di atas ku, bau obat yang begitu menyengat menusuk hidung, rasa nyeri di pangkal leher sedikit terasa, dan sebuah benda yang sepertinya berada di dalam tanganku terasa sangat mengganjal.

Ku mengedarkan pandanganku ke sekeliling dan hanya dalam sekali tebak aku tahu dimana diriku berada kini, tentu aja tak perlu menggunakan kalimat tanya "Di mana aku?" Dan "Ini di mana?" Hanya orang bodoh yang menggunakan dua kalimat tanya itu.

"Akhirnya sadar juga kamu, saya kira kamu bakal tidur selamnya tadi."

"Mungkin itu jauh lebih baik, karena adanya tak perlu melihat Anda lagi."

"Seharusnya kau berterima karena sudah saya bawa kerumah sakit, tahu."

"Tentu saja Anda harus membawa saya ke rumah sakit karena Anda yang telah membuat saya pingsan, bukan? Bos macam apa Anda ini sampai-sampai tega memukul tengkuk karyawannya sendiri," balasku tak terima.

Ya, dia yang membuatku pingsan tadi, dia yang memukul tengkukku karena sebelum benar-benar aku tak sadarkan diri aku dapat mendengar Xa yang memarahinya karena memukul ku.

Dan, lihatlah dia sekarang. Dia tak berani menjawab lagi.

"Cepat sembuh." Kali ini aku tak bakal terjebak lagi, ujung-ujungnya pasti nanti dia akan mengatakan kalau dia yang rugi jika aku sakit.

"Cepat sembuh, karena saya membutuhkanmu saat bekerja," lanjutnya. Dan entah kenapa mata itu menyiratkan ketulusan, dan juga kalimatnya sungguh ambigu membuatku sulit mengartikan mana arti yang sebenarnya.

"Oh, kau udah sadar, Ta!" Xa tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Dan tepat saat itu juga ponsel Alan berdering, dia keluar menjawab panggilan. Dan kini berakhirlah aku berdua bersama Xa dengan suasana hening menyelimuti.

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Where stories live. Discover now