Chapter 28

58.2K 5.1K 53
                                    

Pria bodoh:
Datang ke restoran sa moda jam 7 malam

Letta membaca pesan singkat dari Alan dengan menggerutu. "Aish. Bukankah dia harusnya menjemput ku, bukan aku yang menghampirinya."

Ditaruhnya ponsel miliknya, ia menatap deretan dress menilai baju mana yang cocok untuknya malam. Beberapa kali ia mengambil berbagi baju yang berbeda, tetapi belum ada juga yang cocok menurutnya.

"Arggghh! Kenapa aku harus pusing-pusing, toh hanya makan malam saja," gerutu Letta mengambil asal baju yang berada di dekat tangannya.

Segera ia pakai bajunya, dan memoles tipis wajahnya dengan make up, terakhir ia memiliki sepatu yang cocok dengan bajunya. Sebuah dress sebatas lutut, high heels cantik, dan tas selempang yang pernah di belikan oleh bu Ratih kini telah melekat sempurna di tubuhnya.

"Masa depan Abi mau kemana?" sapa bocah SMA saat Letta keluar rumah. Abi terlihat tengah bersama teman-temannya duduk-duduk di bawah pohon jambu di depan rumah Letta. Ya, memang rumah Letta sering di jadikan tempat nongkrong oleh anak-anak kompleks. Asal tak mengotori halaman rumah, Letta tak akan mempermasalahkannya.

"Mau makan malam," jawab Letta mengunci pintu rumah.

"Wiihh, jangan lupa jajannya ya teh," celetuk teman Abi tak tahu malu. Sontak Abi yang berada tepat di sampingannya langsung saja menggeplak kepala temannya itu.

"Jangan berantem. Saya pergi jaga rumah," ucap Letta memasuki mobilnya meninggalkan sekumpulan bocah-bocah SMA itu.

Mobil melesat membelah jalanan kota metropolitan yang tak pernah sepi itu, untung saja malam ini ia tak terjebak macet sehingga ia datang tepat waktu.

Restoran mewah bergaya Eropa-Asia yang kini Letta datangi, tampak dipenuhi oleh orang-orang kalangan atas yang begitu berkelas.

Letta tampak mencari Alan, ia lupa menanyakan ada di meja mana pria itu berada.

"Dengan mba Letta?" tanya seorang pelayan.

Letta mengangguk.

"Untungnya benar ... mari ikut saya mba," ujar si pelayan menuntun Letta.

Letta dibawa ke lantai dua restoran, area VIP tepatnya. Kini Letta menjadi bertanya-tanya kenapa Alan mengajaknya makan malam di restoran semewah ini, apalagi di area VIP.

"Akhirnya kau datang juga," seru Alan  yang kini berjalan menghampirinya.

"Kenapa harus di sini?" tanya Letta atau lebih tepatnya memprotes.

"Udah diem aja, ayo mereka sudah menunggu?" balas Alan menggandeng tangan Letta.

"Mereka? Siapa?" tanya Letta merasa janggal dengan kalimat pria ini.

Alan berhenti melangkah, kini ia menghadap tepat ke arah Letta.

"Saya tau jika hal ini pasti akan membuatmu terkejut, tapi saya mohon tolong kerja samamu, Letta. Saya bakal bantu kamu apa saja setelah ini," ujar Alan yang lagi-lagi membuat Letta gagal paham.

Letta hanya diam saja saat Alan mulai menariknya kembali entah kemana, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup. Alan menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya membuka kenop pintu tersebut.

"Maaf, saya terlalu lama," ujar Alan.

"Ah, mama kira kamu kemana, kok ke toilet enggak balik-balik kasian nih Lina kamu tinggal gitu aja," balas mama Alan a.k.a bu Ratih.

"Eh, kok ada Letta?" tanya bu Ratih melihat sosok Letta yang berada di belakang tubuh putranya. Tak hanya bu Ratih, kini semua orang yang berada di meja makan itu menatap ke arah Letta.

"Iya, soalnya Alan ada janji sama Letta malam ini, jadi sepertinya saya hanya bisa sampai di sini saja, saya duluan om, Tante, dan Lina." Alan tersenyum formal sebelum akhirnya menarik tangan Letta keluar.

Panggilan dari bu Ratih Alan abaikan begitu saja, ia pura-pura tak mendengar apapun. Sungguh Letta tak mengerti dengan situasi nya saat ini.

Letta menarik tangannya dari Alan, dia menatap Alan tajam.

"Apa maksud ini semua?!" geram Letta.

"Aku akan jelaskan tapi tidak di sini, ayo!" jawab Alan kembali menarik tangan Letta.

"Tidak je ...."

"Letta?" Sebuah suara memotong ucapan Letta. Sepasang suami istri menghampiri Letta, yang kini mematung di tempat napasnya tiba-tiba memburu melihatnya.

"Tarik nafas, buang pelan-pelan," instruksi Alan berbisik di telinga Letta.

"Bicarakan baik-baik, selesaikan saja hari ini. Aku akan menemanimu," lanjut Alan mengusap punggung Letta menenangkan.

Kini sepasang suami istri itu telah berada dihadapan mereka tepat.

***

".... Saya harap kita tak akan pernah bertemu lagi, hubungan kita sebelumnya jauh lebih baik. Semoga ayah bahagia," ujar Letta menatap ayahnya. Ia tulus mengatakan kalau ia menginginkan ayahnya bahagia, dan pria paruh baya itupun tahu. Ditatapnya putri tunggalnya itu dengan pandangan yang memiliki begitu banyak arti, ia menyesal, ia rindu dan ia merasa jahat dengan dirinya sendiri.

Apa lagi dengan melihat putrinya sekarang ia merasa menjadi ayah paling tak bertanggung jawab di dunia. Jika memungkinkan waktu dapat diputar ulang, ia akan membawa putrinya pergi, dan akan hidup berdua saja. Namun, nyatanya tak akan bisa. Kini hanya penyesalan yang tersisa di dalamnya.

"Saya tak membenci Ayah, jadi jangan merasa bersalah lagi." Pandangan Letta jatuh ke istri ayahnya, jujur ia tak memiliki kesan yang terlalu baik untuk istri ayahnya.

"Cintai ayah saya dengan benar," ujar Letta untuk terakhir kalinya sebelum ia beranjak pergi dari sana.

Ia langsung keluar dari restoran di susul oleh Alan yang duduk di lain meja, mereka berdua pada akhirnya hanya menjadikan restoran sebagai tempat singgah sementara tanpa memakan apapun.

Mereka berjalan menyusuri trotoar dengan tujuan yang tak jelas.

"Bagaimana rasanya setelah berbicara?" tanya Alan memecah keheningan.

"Lega dan sedikit nyaman," jawab Letta jujur.

"Jelaskan maksud kamu tadi," lanjut Letta menuntut penjelasan, dan jangan lupakan panggilan aku-kamu kini mulai berlaku jika di luar kantor. Entahlah apa hubungan mereka saat ini, tak ada yang tau.

Alan menghela napas kasar ia kira Letta tak akan mengingatnya lagi, tetapi ia lupa jika IQ Letta hampir menyentuh angka 200 jadi sedikit kemungkinan jika Letta akan melupakannya.

"Oky, aku jelaskan sambil makan, nah itu ada yang jualan sate ayo ke sana."

Mau tak mau Letta harus menuruti kemauan Alan lagi dan lagi.

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Where stories live. Discover now