Chapter 9

68.9K 6.7K 275
                                    

"Sejak kapan kamu dan ibu saya akrab?" tanya Alan memecah keheningan.

"Baru beberapa hari ini, mungkin?" jawab Letta tak yakin.

Alan mengangguk-anggukkan kepala dan kembali menatap lurus ke jalan. Mereka tengah berada di perjalanan mengantar Letta pulang, setelah acara makan tadi mereka berkumpul di ruang keluarga dan bercerita banyak hal. Tentu saja Letta hanya menjadi pendengar, dia tak tahu harus berbicara apa. Jadi, dia lebih baik mendengarkan para atasannya itu dan sesekali berbicara kalau di tanya.

Hingga tak sadar jarum jam sudah menunjukkan angka 9, akhirnya Letta memutuskan untuk pamit pulang. Namun, tak diijinkan karena sudah malam. Tetapi akhirnya dia tetap bisa pulang asal di antar oleh bos-nya ini.

"Sial, ada apa dengan mobil ini?" umpat Alan, merutuki mobil yang mereka naiki.

Pasalnya, mobil tiba-tiba berhenti dan tak menyala lagi saat dicoba. Dengan perasaan dongkol, Alan melangkah keluar dan membuka kap mobil.

Siapa sangka jika saat Alan membukanya, asap mengepul keluar dan masuk kedalam rongga paru-parunya.

"Ukgh ... ukgh! Sial!"

"Kenapa?" tanya Letta menyusul Alan.

"Apa rumahmu, masih jauh? Sepertinya kita harus menunggu montir untuk ini," tanya Alan mengabaikan pertanyaan Letta.

"Tidak, hanya satu blok lagi," jawab Letta, sembari memberikan sapu tangan kepada Alan untuk membersikan tangannya yang hitam saat mencoba mengecek mesin.

"Pulanglah kalau begitu, akan aku pesankan taxi."

"Tidak, usah. Saya jalan saja. Selamat malam," putus Letta.

Ia berjalan meninggalkan Alan. Tak lama kemudian dia telah tiba di rumah minimalisnya, langsung saja ia membersihkan badan. Sembari mengeringkan rambutnya ia menatap keluar jendela, awan hitam mulai membungkus langit. Bahkan kini langit malam tak terlihat secercah cahaya pun.

"Sepertinya akan hujan," gumamnya. Langsung saja ia berlari ke dapur, mencari wadah untuk menadah air hujan di ruang tamu. Genteng di ruang tamu, retak akibat dimakan usia. Letta tak bisa memperbaikinya, dia hanya bisa menunggu seseorang yang berbaik hati membantunya. Namun, bagiamana ada orang yang bisa membantunya jika dia saja tak pernah meminta bantuan, sehingga sudah seminggu lamanya ia membiarkannya dan selalu sigap dengan baskom jika hujan datang.

Dan, tak lama hujan pun turun. Sekelibat ingatannya melayang ke sosok bos yang ia tinggal pulang satu jam lalu.

Apakah dia kehujanan? Pertanyaan itu muncul di benaknya. Namun, segera ia tepis, Letta terlalu gengsi untuk memberikan perhatian sedikit untuk bos bodohnya itu walaupun hanya di benaknya saja.

Setelah memastikan percikan air hujan tak membasahi lantai. Letta kembali berjalan menuju kamarnya, tetapi langkahnya terhenti saat suara ketukan pintu terdengar.

"Aish, hujan-hujan seperti ini siapa yang bertamu," kesalnya.

***

"Apakah tak ada baju yang lebih buruk dari ini?"

"Tidak, hanya ada baju itu yang bisa Anda pakai. Jika, Anda tak ingin memakainya tak apa-apa."

"Menjijikan, bagaimana bisa bos besar seperti saya memakai pakaiannya seperti ini," ratapnya menatap nanar pakaian di tangannya.

"Baik, selamat malam. Anda bisa tidur di ruang tamu Mr. Alan." Letta langsung menutup pintu kamarnya meninggalkan Alan yang masih tercengang.

Ya, orang yang bertamu saat hujan-hujan adalah bosnya sendiri. Alan mendatangi rumah Letta dengan tubuh basah kuyup. Dan berakhir dengan sebuah daster yang kini melekat ditubuhnya.

Letta dengan berbaik hati meminjamkan sebuah daster berukuran paling besar untuk dipakai bosnya itu, penghinaan yang sempurna.

Dengan langkah gontai Alan berjalan ke ruang tamu, matanya menatap baskom yang menadah air hujan. Tambah menderitalah ia hari ini, tidur ditemani suara air hujan yang membentur baskom, jangan lupakan hawa dingin yang tiba-tiba dibawa oleh angin.

Baru sekali dalam hidupnya, ia mengalami situasi seperti ini. Jika bukan karena mobilnya yang terkunci dan kuncinya tertinggal di dalam mobil, mungkin dia tak bakal mengalami kejadian yang menurunkan harga dirinya dengan sangat ini.

***

Paginya si pemilik rumah terbangun, ia melihat ruang tamu mencari sosok tak diundang itu. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan pria itu. Hanya dasternya yang tergeletak diruang tamu. Tak mau memikirkan lebih jauh keberadaan Alan, ia langsung berbenah diri untuk berkerja kembali.

Kali ini ia memilih untuk tak sarapan kembali, hanya segelas susu dan satuh buah apel yang mengisi perutnya.

"Tadi pagi, subuh-subuh kalau enggak salah, suami saya lihat pria keluar dari rumah Letta, Bu," ujar ibu berdaster yang tengah memilih sayuran.

"Beneran, Bu?!" tanya ibu bertubuh gempal.

"Iya, beneran. Coba deh kalian pikir. Wanita lajang yang tinggal sendirian membawa pria kerumahnya malam-malam, apa yang mereka berdua lakukan." Ibu berdaster itu kembali berujar.

"Wah, ini sih udah enggak bener. Bisa-bisanya mereka melakukan hal menjijikan seperti itu tanpa ikatan," timpal ibu-ibu bersanggul tinggi.

"Astaga ibu-ibu tiga ini, jangan suka negatif thinking sama orang, Bu. Bisa aja pria itu salah satu saudara mbak Letta," ujar ibu-ibu berkerudung yang sedari tadi hanya mendengarkan saja. Dan akhirnya bersuara saat ibu-ibu itu mulai berasumsi yang tidak-tidak dan akhirnya pasti akan semakin menjadi.

Sudah, biasa sebenarnya jika ibu-ibu yang berkerumun membeli sayuran di pagi hari pasti akan selalu bergosip seru, tetapi sepertinya ibu berkerudung itu tak tahan lagi mendengar Letta di gosip kan yang tidak-tidak. Karena menurutnya pribadi sosok Letta tak akan melakukan hal yang dibicarakan oleh ibu-ibu itu.

"Wahai ibu-ibu yang baik budiman, apakah kalian tidak lelah menggosipkan hal-hal yang tak pasti. Lebih baik ibu-ibu segera pulang ke rumah dan masak. Jangan sampai suami ibu kelaparan dan akhirnya mencari istri baru, karena istrinya yang sekarang tak becus mengurus suami," celetuk siswa berseragam SMA yang tak lain tak bukan adalah Abhi si pengagum abadi Letta.

Ibu-ibu yang tadi tengah bergosip langsung menatap Abhi tajam seakan-akan akan memakan Abhi hidup-hidup.

"A'a enggak boleh seperti itu! Enggak sopan, Ummi enggak pernah ngajarin ngomong begitu!" seru ibu berkerudung yang ternyata adalah ibu dari Abhi.

"Hehehe maaf ummi, lagian kayak enggak ada kerjaan lainnya gosipin teteh Letta."

Mereka tak sadar saja, jika orang yang di gosipkan sedari tadi mendengarnya. Letta sudah yakin pasti ia akan menjadi buah bibir para ibu-ibu penggosip di sekitar rumahnya.

"Selamat pagi," ujar Letta keluar pagar. Ibu-ibu penggosip itu langsung diam, wajah mereka pucat pasi. Takut jika Letta mendengar pembicaraan mereka.

"Pagi masa depannya Abhi," seru Abhi semangat dengan senyum cerah.

"Belum berangkat sekolah?" tanya Letta kepada Abhi.

"Ini mau be ...."

"Cepat berangkat, dan cari kegiatan yang berguna daripada buang-buang waktu di sini," potong Letta, yang sepertinya ditujukan untuk ibu-ibu penggosip itu. Setelahnya Letta berjalan menuju halte bus.

TBC.

Sabtu, 1 Juli 2020

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz