Chapter 12

65.3K 5.9K 26
                                    

"Yak! Kalian berdua! Kenapa enggak ngajak gue kemarin, hah?!" Tey menatap kedua kaum hawa dihadapannya garang.

"Enggak inget," jawab Letta dengan wajah datarnya.

Sera mengangguk menyetujui, dia tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya begitu pusing, sepertinya dia terlalu banyak menenggak alkohol hingga pagi ini hanya untuk sekedar mengangkat kepalanya pun dia serasa tak sanggup.

"Ishh! Nyebelin banget sih kalian!" sungut Tey.

"Sorry, kapan-kapan kita ajak," balas Letta sembari memasukan potongan salad ke dalam mulutnya.

Tey mendengus kesal menanggapinya, terlihat jelas jika dia masih belum memaafkan kedua temannya itu. Namun, itu semua tak berjalan lama, karena sekarang mereka mulai berbicara seperti biasa lagi.

"Berapa gelas lo minum semalem, sampe-sampe hari ini masih teler aja?" tanya Tey menatap ngeri Sera. Bahkan ini sudah jam makan siang, tetapi Sera masih saja seperti orang mabuk.

"Pulang jam berapa dia semalem?" tanya Tey ke Letta.

"Gak tau, semalem aku pulang duluan."

"Stop! Bicara. Kepala gue rasanya mau meledak!" seru Sera tiba-tiba membuat para pengunjung restoran menatap meja mereka dengan pandangan tajam.

Setelahnya ia menangis tersedu-sedu lalu tertawa beberapa kali, dan menelungkup kan kepala ke atas meja tertidur. Letta dan Tey yang memperhatikan Seta kini saling bertatapan seolah berbicara lewat pikiran. Satu kesimpulan yang mereka dapat jika Sera saat ini 'masih mabuk'.

"Lo balik aja duluan ke kantor, Ta. Kayaknya gue harus bawa balik ni bocah, deh. Eh, tapi jangan lupa ijinin kita berdua loh, awas kalo pas gajian, gaji gue di potong gara-gara bolos kerja. Lo orang pertama yang gue cari buat ganti rugi," cerocos Tey tanpa henti.

Letta mendengus sebal. Namun, pada akhirnya ia pun mengangguk. Letak restoran yang hanya berada di sebrang kantor membuatnya tak perlu jauh-jauh untuk kembali ke kantor, hanya butuh waktu 15 menit kini ia sudah sampai di mejanya kembali. Tak lupa sebelum naik ke atas ia mengajukan ijin untuk kedua temannya itu.

"Datang keruangan saya!" baru saja dia mendudukkan diri di atas kursi. Suara bernada perintah itu terdengar dari interkom di atas mejanya.

Bahkan, jam makan siang pun masih tersisa beberapa menit lagi. Namun, bosnya itu sepertinya tak mengijinkan Letta untuk beristirahat lebih lama lagi, dan memaksa Letta untuk kembali ke dalam neraka buatannya lagi.

"Ada apa, pak?" tanya Letta.

"Bawakan saya makan siang," jawab Alan tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Saya ingin makan spaghetti bolognese dari restoran ujung jalan, waktumu hanya 30 menit," lanjutnya.

"Bukankah makan siang Anda telah dibawakan oleh ob?" balas Letta menatap sepiring makanan di atas nampan lengkap dengan lauk pauk serta buah-buahan.

"Saya tak suka. Cepat! Waktumu dimulai dari sekarang!" seru Alan menatap manik mata Letta.

Dengan menahan gumpalan kesal di dalam hatinya, Letta akhirnya berjalan keluar dari ruangan Alan dan segera pergi ke restoran untuk memenuhi kemauan pria bodoh itu.

Kini spaghetti bolognese, telah berada di tangan Letta. Baru saja ia akan membuka pintu mobil, sebuah pesan dari masuk atas nama 'pria bodoh' yang tak lain tak bukan adalah Alan.

Di dalam pesan tersebut, Alan menyebutkan jika dia juga menginginkan babble tea rasa coklat dari salah satu kedai. Bertumpuk lah rasa gondok Letta kepada Alan sekarang.

Dengan setengah hati Letta berjalan menuju kedai yang tak jauh dari restoran.

"Letta?"

***

"Telat 9 menit 4 detik," komentar Alan saat Letta tiba dihadapannya.

"Buat kamu saja saya sudah makan," lanjut Alan saat Letta menaruh semua pesanan Alan di atas meja.

Cukup sudah, sampai di sini saja kesabaran Letta untuk hari ini. Di tatapnya Alan tajam, napasnya sedikit memburu. Gelas cup babble tea yang tadi ada di tangannya ia taruh dengan hentakan keras sehingga menumpahkan sebagian isinya dan mengenai meja Alan.

"Saya tau jika Anda manja dan kekanak-kanakan, tapi saya baru tau jika Anda itu benar-benar tak bisa menghargai orang lain! Dasar pria bodoh," desis Letta dengan suara rendah, meremehkan Alan.

Alan menatap punggung Letta yang berjalan keluar dari ruangannya. Ya, mungkin dia sedikit keterlaluan? Entahlah, Alan sedikit bingung dengan Letta yang tiba-tiba marah hanya karena hal sepele seperti barusan. Ya, sepele bagi Alan karena hidupnya yang terlampau santai, berbeda dengan Letta yang sedikit serius dalam menyikapi suatu hal.

Setelah kejadian tadi siang, mereka berdua atau lebih tepatnya Letta sama sekali tak berbicara. Bahkan saat menyampaikan laporan, Letta hanya menyerahkan laporannya saja, tanpa berbicara sekedar garis besarnya.

Jam sudah menunjukan angka 4 yang artinya jam kerja Letta telah usai, ia sudah selesai bebenah, tetapi sepertinya dia harus ke toilet terlebih dahulu karena kandung kemihnya terasa penuh. Tak lama kemudian Letta kembali ke mejanya mengambil tasnya, tetapi kertas yang terkenal di layar komputernya menarik perhatiannya, sebuah kata 'maaf' tertulis di kertas tersebut.

Tak ada keterangan lainnya, hanya kata itu saja. Letta menatap sekeliling mencari seseorang yang mungkin dapat ia curigai, tetapi nihil. Tak ada. Satu orang pun di sana selain dirinya. Ia pun menatap sela pintu Alan yang terbuka, di dalamnya sudah kosong tak ada si empunya. Apakah Alan pelakunya?

Entahlah, jika iya mungkin Letta sedikit merasa baikan. Ya, mungkin.

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Donde viven las historias. Descúbrelo ahora