Chapter 2

97.3K 8.2K 29
                                    

“Jadi apa mau kalian, sekarang?” tanya pak Surya menatap putra dan sekertarisnya bergantian.

Alan dan Letta saling melirik. Alan yang melirik Letta sinis, dan Letta yang melirik Alan datar.

“Dia harus minta maaf kepadaku, Pa,” ujar Alan kembali menatap pak Surya.

“Maaf? Seharusnya Anda yang meminta maaf karena telah melanggar peraturan,” balas Letta tak terima. “Maaf, pak. Saya menolak jika harus meminta maaf kepada putra Anda.”

Pak Surya menghembuskan napas kasar, beliau merasa pusing dengan tinggkah laku mereka berdua, pasalnya ini baru hari pertama putranya mulai bekerja dan keributan sudah terjadi. Pak Surya yang kembali ke kantor untuk mengambil berkas penting, tanpa di duga ia disuguhkan perdebatan mereka berdua di depan ruang CEO, lebih tepatnya di depan meja Sekertaris.

Tiga puluh menit yang lalu.

Setelah kejadian di lobby tadi, dengan menanggung rasa malu Alan pergi ke meja resepsionis untuk bertanya di mana ruang CEO berada. Ya, mungkin baru kali ini ada seorang bos yang menanyakan letak ruangannya. Dan mungkin baru Alan saja, yang merupakan bos baru yang mendapat sebuah sambutan yang begitu mengesankan, walaupun dengan amat sangat berat ia akui bahwa itu merupakan kesalahannya juga.

“Ruang CEO berada di lantai 30.” Setelah mendapat jawaban dari resepsionis yang bertugas, Alan langsung melenggangkan kaki menuju lift, tanpa peduli pertanyaan resepsionis yang mempertanyakan siapa dirinya.

Lift terbuka tepat di lantai 30 dan di sana hanya ada beberapa ruang penting, salah satunya ialah ruang tempat nantinya Alan bekerja. Dapat Alan lihat dari tempatnya berdiri, jika ada seorang wanita yang tengah mengetik sesuatu di komputernya dengan fokus. Alan mengenali wanita itu, siapa lagi jika bukan wanita galak yang marah-marah tadi. Lantas Alan langsung melangkahkan kakinya cepat-cepat menghampiri Letta.

“Kenapa Anda di sini?!” tanya Letta kaget, saat mendapati pria yang tadi pagi ia tatar di lobby kantor.

“Seharusnya saya yang bertanya. Kenapa kamu bisa ada di depan ruangan saya?!” balas Alan.

Mereka berdua saling terdiam. Mata Alan melirik kartu tanda pengenal yang menggantuk di leher Letta, tertera nama dan juga jabatan Letta di kantor. Letta pun sama dia menatap menelisik Alan, mencari-cari sesuatu yang dapat menjelaskan identitas Alan. Suatu kesimpulan terkumpul di benak Letta, dan kesimpulan itu juga yang berusaha Letta tolak mentah-mentah. Namun, sepertinya kesimpulan itu benar adanya, bahwa pria yang berdiri dihadapnnya dengan dagu terangkat dan juga senyum puas tersungging itu adalah Alan Pradana Dewa, calon bos barunya.

“Sepertinya kini kamu sadar siapa saya, Aletta Hidralika?” gumam Alan dengan senyum miring yang menghiasi bibirnya.

Letta terdiam, dia syok. Tentu saja, siapa yang tidak akan terkejut jika orang yang kalian bentak di depan publik adalah bos baru kalian. Dia memandang kembali wajah congak itu, dan teringat kembali kejadian tadi pagi.

‘Jadi ini bos baru aku? Sungguh jauh dari ekspetasi yang aku bayangkan. Dasar pria bodoh,’ batin Letta.

“Lalu?” balas Letta menantang, setelah sekian detik terdiam.

“Apa maksudmu, lalu?” tanya Alan tak percaya, “Hey! Aku ini bos kamu. Dan kamu telah mempermalukan saya di depan publik, siap-siap kamu angkat kaki dari kantor saya.”

“Anda belum dilantik secara resmi menggantikan pak Surya, sehingga Anda belum bisa untuk memecat saya, jangan lupakan itu!” ujar Letta yang selalu setia denggan wajah tanpa ekspresi.

Alan yang geram dengan respon Letta sontak menggebrak meja dan menjuk wajah  Letta. “Kau ...!”

“Stop! Alan ... Letta,” seru pak Surya menghampiri mereka.

Beliau yang sedari tadi hanya menonton kini berdiri di antara Alan dan Letta menengahi, sebelum berlanjut ke adu mulut yang lebih serius.

Alan menurunkan tangannya saat pak Surya tiba di antara mereka. Namun, matanya tak pernah lepas dari Letta, begitu juga dengan Letta.

“Kalian ikut saya!” perintah pak Surya.

Dan berakhir dengan mereka yang kini saling menuntut maaf dari masing-masing pihak.

“Berhentilah berdebat!” seru pak Surya yang benar-benar pusng menghadapi mereka berdua yang berdebat tanpa henti. Bahkan kini beliau dapat melihat Letta yang banyak bicara dan berdebat sepert anak kecil. Di mana Letta yan selalu tenang dan serius itu? Munkin jika Alan yan bertindak seperti anak kecil pak Surya tak akan terkejut lagi yang karena memang sifat Alan seperti anak kecil.

“Alan hal ini adalah salah kamu. Kamu yang melanggar peraturan, seperti orang tak terdidik. Dan juga Letta, saya tak menyalahkan kamu karena telah mempermalukan Alan. Tetapi, saya minta kamu untuk bisa lebih mengontrol emosi kedepannya. Jadi, sekarang saling memaafkan dan damai," ucap pak Surya menengahi.

"Aku bakal maafin dia, asal Papa pecat dia sekarang juga. Aku enggak mau punya sekertaris bipolar." Letta mendelik menatap Alan tajam.

"Apa maksudmu dengan, bipolar?!" ujar Letta yang mulai lepas kendali.

"Stop! Saya benar-benar pusing menghadapai kalian," seru pak Surya.

"Letta tak akan Papa pecat karena kontrak kerjanya yang masih 1 tahun lagi, Alan. Dan juga Letta bukan seorang bipolar, ini memang karakternya. Jadi, kamu harus bisa memaklumi itu," lanjut pak Surya.

Alan mendengus mendengarnya sedangkan Letta dia tersenyum puas mendengar pembelaan dari pak Surya, di dalam hati tentunya ia tersenyum. Tak mungkin dia menghancurkan karakter datar yang dia bangun selama bekerja hanya untuk tersenyum sombong di hadapannya.

Tbc.

Minggu, 21 Juni 2020

Sekretaris Galak #APproject *Tamat*Where stories live. Discover now