Kahfi

444 48 4
                                    

Kata orang, yang datangnya akhir itu biasanya yang terbaik. Mungkin kata-kata ini bisa menggambarkan Kahfi yang kita bahas paling akhir. Kahfi ini bukan hanya anggota Eltazafer, dia lebih dari itu. Bukan juga siswa SMA biasa, dia malah lebih dari itu. Kahfi masih single hingga saat ini bukan karena Kahfi tidak laku, NO! Tapi karena Kahfi terlalu hebat untuk dimiliki seseorang.

Bukannya mau menyombongkan diri, Kahfi memilih untuk single karena sesuai ajaran agama. Kahfi juga tidak ingin buang-buang waktu hanya untuk menye-menye bersama pacar di masa SMA nya. Kahfi lebih memilih menghabiskan waktunya bersama Eltazafer dan rekan-rekan IRMA nya. Ya, Kahfi adalah tipe cowok sholeh yang diturunkan Allah SWT. untuk membimbing para laknat Eltazafer ke jalan yang benar. Begitu.

Et, jangan suudzon dulu. Kahfi juga lelaki normal yang suka dengan perempuan, tapi ia lebih memilih menyimpan rasa itu dalam-dalam layaknya Ali menyimpan rasanya pada Fatimah. Rasa suka itu Kahfi tujukan pada Wirda Mansur, Kahfi sangat terinspirasi pada gadis itu. Dari Wirda Mansur, Kahfi mendapatkan semangat untuk terus menghafalkan ayat demi ayat Al-Qur'an. Dalam artian, Kahfi menyukai Wirda dalam hal yang tentu saja bukan berdasar pada 'cinta'.

Di Eltazafer, rekan Kahfi itu adalah Saka. Kenapa Saka? Karena Saka lah yang juga selalu mengingatkan Eltazafer untuk beribadah. Tapi bedanya, Saka versi kasar dan menusuk. Kalau Kahfi, seperti yang kalian lihat beberapa waktu lalu Kahfi hanya sekedar mengajak dan sudah tentu dalam bahasa yang enak didengar. Kahfi itu lemah lembut, Kahfi tidak pernah berteriak ataupun berkelahi jika tidak terlalu penting. Kalau kata Kahfi, 'Kalo bisa diselesaikan pake kepala dingin, kenapa harus gelud?' gitu.

Karena didikan kedua orangtuanya, Kahfi bisa menjadi seperti sekarang ini. Kedua orangtua Kahfi itu paham agama, mereka menanamkan ilmu agama sejak dini pada Kahfi kecil sehingga Kahfi menjadi pemuda taat seperti sekarang. Tapi orangtua Kahfi tidak pernah memberi batas pertemanan pada anak-anaknya, mereka bebas berteman dengan siapa saja. Karena orangtua Kahfi tahu, jika anak-anaknya memang sudah dididik untuk menghadapi dunia yang penuh warna. Mereka tidak khawatir anak mereka diwarnai, karena anak mereka lah yang akan mewarnai.

Seperti sekarang, Abi sedang duduk sambil menonton TV dan tiba-tiba saja teringat akan sesuatu, "Fi.....coba sini dulu nak." Panggilnya.

"Iya bi?" Kahfi yang baru saja mandi sore langsung berlari menuju Abi nya.

"Kok kamu dirumah terus? Sekali-kali keluar coba, main kerumah temanmu. Atau bersih-bersih masjid sana." Protes Abi saat menyadari anak laki-lakinya sudah dua hari ini hanya berdiam dirumah saja.

"Astagfirullah bi, Kahfi sudah kaget dikira mau dimarahin."

"Dimarahin buat apa, kan kamu ga buat salah. Atau kamu ada buat salah, makanya takut dimarahin??" Abi menatap curiga putranya.

Tapi pada dasarnya Kahfi memang anak yang tidak bisa bohong, jadilah ia berkata "Iya bi, Kahfi ada buat salah."

"Apa kesalahannya?" Abi tersenyum samar, ada rasa bangga dalam dadanya saat mendengar pengakuan jujur dari putranya ini.

"Kahfi ga setoran kemaren."

"Ya udah, sekarang kamu ga usah keluar rumah. Setoran aja dulu, sini." Abi menepuk sofa disebelahnya.

"Kata Abi tadi aku disuruh keluar rumah, sekarang disuruh setoran. Yang mana nih yang bener?" Kahfi bingung, sejak kapan Abi nya jadi ABG labil seperti ini.

"Maksuㅡ"

"Assalamualaikum uri Abi....." Dialog Abi terpotong oleh suara Saka yang memenuhi ruang tengah rumah Kahfi. Abi juga terkejut, darimana datangnya bocah satu itu.

"Waalaikumsalam. Uri Abi itu siapa? Nama Abi kan Rahmat Firsari. Kalau mau ubah nama orang itu yang bagus dikit dong." Protes Abi sambil disalimi oleh Saka.

"Aduuuhh, Abi ganteng uri itu bahasa korea artinya kita. Jadi uri Abi itu artinya Abi kita, gitu. Sampai sini paham anak-anak?" Canda Saka, sementara Kahfi geleng-geleng ditempatnya. Memang hanya Saka yang berani bercanda dengan Abi nya seperti ini.

"Halah, gaya-gayaan pake bahasa korea. Nilai bahasa Indonesia nya aja masih remedi." Ejek Abi.

"Hey Abi gamtenk, jangan salah. Nilaiku anti remedi-remedi club ya, tanya aja Kahfi. Ya kan brouu?" Saka mencari dukungan pada Kahfi yang sedang menatap keduanyaㅡAbi dan Sakaㅡcengo.

Kahfi mengangguk ia terpaksa mengiyakan, "Yoi brou."

"Iya deh iya, Abi percaya. Jadi ceritanya kamu mau ngapain berkunjung kesini? Jangan bilang mau minta adopsi jadi anak Abi? Kalau itu, Abi belum buka lowongan nih."

"Abi ngadi-ngadi." Kahfi sudah jengah, kelakuan Abi nya jadi sebelas duabelas dengan Saka jika sudah begini.

"Abi kepedean ih. Saka kesini mau jemput Kahfi."

"Buat??" Tanya Abi lagi, masih belum menyerah untuk menguji kesabaran Saka.

"Abi nanya udah kaya mau introgasi calon mantu. Ini Saka mau ngajak Kahfi keluar apa jemput anak perawan malam mingguan sih? Ya Rabbi....." Saka mengalihkan pandangan, berakting tersakiti.

"Engga, bukannya gitu. Abi cuma mau nanya aja kan kali aja Kahfi nanti ga balik-balik, Abi bisa datengin kalian."

"Oh gitu.....ga ngobrol sih. Mau main kerumah Alvin," Saka paham "Jadi boleh ga nih anaknya dibawa?"

Abi mengangguk, "Boleh, bawa aja. Tapi ingatㅡ"

"Jangan narkoba, jangan main perempuan, jangan minum-minum. Iya kan bi?" Saka memotong ucapan Abi, quotes yang sudah Saka hafal karena setiap kali akan keluar bersama Kahfi Abi selalu mengingatkan hal tsb.

"Oke, pinter anak Abi." Abi mengacungkan jempolnya dan berniat beranjak dari ruang tengah, "Ya udah, Abi ke dalam dulu ya." Kata Abi lantas meninggalkan Saka dan Kahfi diruang tengah.

"Woy Kahfi, siap-siap gih." Titah Saka.

"Siap-siap apaan? Gue tinggal berangkat aja inimah." Kahfi sudah berdiri dari duduknya, memimpin Saka untuk berjalan keluar.

"Let's go, anak-anak udah pada nunggu."

Meskipun sering bersama Eltazafer, Kahfi tetaplah Kahfi si cowok sholeh idaman. Kahfi tidak pernah merasa Eltazafer membawa pengaruh buruk baginya, justru Eltazafer lah yang membuat Kahfi selalu bersemangat untuk menantikan pergantian hari dari Minggu ke Senin. Tapi namanya juga hidup, kita yang menjalani eh malah orang lain yang sibuk mengomentari. Tak jarang, orang-orang seorganisasi Kahfi menyuruhnya untuk berhenti berteman dengan Eltazafer karena khawatir Kahfi akan tertular kenakalan mereka. Tapi lagi-lagi Kahfi tetaplah Kahfi, ia tidak terlalu mendengarkan omongan orang-orang yang hanya tahu sekilas tentang hidupnya. 'Ga penting, ga urus, ga peduli' katanya.

Geruchtted✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang