chapter 4 - kehilangan

97 67 17
                                    

Dua tahun lalu, beberapa bulan setelah ditembak Alex.

"Abis darimana aja, Ma?"

"Mama habis ketemu lagi sama pengacara yang Mama ceritain ke kamu hari itu, Clar. Terus ternyata kita baru sadar kalau kita dulu kesekolah yang sama saat SMA. Mama langsung ingat dia, Claren. Dulu saat sekolah kita ga terlalu dekat, tapi dia dari dulu sampai sekarang memang orang yang baik," cerita Mamaku dengan wajah yang terlihat sedang mengenang masa lalunya.

Tiba-tiba... *BRAKKK*

Sontak, pandanganku dan Mamaku tertuju pada suara tersebut. Kalau kutebak, sepertinya itu suara pintu rumahku yang dibanting oleh seseorang. Saat itu juga, aku mulai mendengar samar-samar pembicaraan orang.

"Aku gamau tau! Kamu yang harus tanggungjawab!" terdengar suara seorang wanita berteriak.

"Bisa sabar sebentar, ga sih? Didalam ada istri sama anak-anakku."
Seperti suara Papa, pikirku.

Ada apa sebenarnya sih? Aku, Mama, dan adik-adikku langsung berlari kecil ke arah suara tersebut untuk melihat apa yang terjadi. Nampaknya, ada seorang wanita yang tidak kukenal berdiri disamping Papaku.

Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara Omaku berteriak juga, "Ada apa sih ribut-ribut disini?"

Wanita tersebut sontak melihat kearah Omaku dan tersenyum sinis.

"Halo, Tante. Perkenalkan, aku Devi, pacar Daniel, anak tante. Tujuanku kesini hanyalah satu, yaitu meminta pertanggungjawaban anak Tante." Kata wanita itu yang membuat Papaku terlihat membisu.

"Coba jelaskan, Daniel. Sebenarnya ada apa?" Kata Omaku yang masih bingung.

Mendengar perkataan Omaku yang masih bingung, ditambah lagi raut wajahnya yang tidak mengerti, Devi tertawa licik, lalu mengambil tasnya, dan mengeluarkan USG dari rumah sakit yang membuktikan bahwa ia sedang mengandung.

"Ini adalah anak Daniel, Tante." Katanya sambil mengelus perutnya.

"Jadi sekarang, aku tidak mau tahu apapun yang terjadi, Daniel harus bertanggungjawab." Katanya sambil melangkah keluar rumahku tanpa pamit.

Aku membeku. Rasanya otakku seperti tidak bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Aku tahu bahwa Papaku bukanlah Ayah dan suami yang baik, tetapi apakah melihatku, Mama, dan adik-adikku menderita selama ini tidak cukup baginya?

Apakah Papa sedemikian membenci kami sehingga membuatku rasanya seperti tidak diinginkan olehnya? Banyak sekali pertanyaan yang muncul dibenakku saat ini, namun satu pertanyaan yang akan selamanya tersirat dihatiku, kenapa Papa begitu tega kepada kami?

Malam itu sangat panjang, setidaknya bagi seisi rumahku. Aku, Calistha, dan Nathan hanya bisa mendengar pembicaraan dari dalam kamar kami masing-masing. Namun satu hal yang jelas, mereka semua berunding dengan sangat serius.

"Bagaimana, Daniel? Kalau emang itu anakmu, kita juga yang harus tanggungjawab!" kata Omaku yang terdengar kesal.

"Lagian, kamu sih, jadi anak merepotkan saja, tidak tau diri!" bentak Opaku.

Lalu, diantara suara mereka bertiga, terdengar sayu suara Mamaku, "Yasudah, kalau memang sudah tidak ada jalan keluar, aku yang mengalah. Aku angkat kaki dari sini, sama anak-anak."

Hening. Tidak terdengar suara apapun.

"Kenapa harus sama anak-anak? Kan mereka anakku juga!" Bentak Papaku kepada Mama seperti biasa.

"Emangnya kamu merasa bisa mengurus dan mendidik mereka semua? Toh mereka selama ini sudah biasa merasa tidak memiliki sosok Ayah!" sahut balik Mamaku, yang terdengar sedikit berteriak.

God Sees My StrengthWhere stories live. Discover now