chapter 10 - titik terang

25 15 1
                                    

Aku pun keluar dari mobil dan menuju kedalam rumah. Aku langsung masuk kekamarku dan menghempaskan diri ke ranjang. Ada banyak sekali yang aku pikirkan. Entah itu bagaimana nasib adik-adikku, bagaimana cara menghentikan Riska dan bagaimana caranya untuk sembuh.

Aku pun hanya dapat berdoa walau aku tak tahu bagaimanakah Tuhan akan menolongku.

Aku seperti kehilangan harapan, keluargaku yang tadinya sempat pulih sekarang harus menerima teror, dan fisikku seperti sedang sekarat ditambah lagi rasa sakit luar biasa yang harus aku alami. Akupun tiba-tiba tertidur karena larut dalam tangisanku sejak tadi.

***

Aku tersadar. Namun aku tidak tahu sama sekali tempat macam apakah ini. Semuanya putih berkilat dan terlihat kosong.

"Claren," aku mendengar ada yang memanggilku dari belakang yang membuatku refleks menoleh kearah suara tersebut. Aku melihat seorang wanita yang tidak pernah kutemui sebelumnya. Diapun jalan mendekat kepadaku.

"Kamu percaya tidak, kalau Tuhan bisa menciptakan mujizat?" tanyanya kepadaku.

Aku pun langsung menjawabnya, "Percaya, lah." Kataku dengan penuh keyakinan.

Diapun bertanya lagi kepadaku, "Kamu tahu apa kepanjangan dari mujizat?"

Kali ini, aku tak langsung menjawabnya. Sebab aku benar-benar tidak tahu.

Akupun menggeleng. "Aku ga tahu, karena setahuku mujizat bukan singkatan." Kataku kepadanya sebagai jawaban.

Diapun membalas, "Mujizat adalah singkatan dari mustahil jadi nyata. Makanya kamu jangan merasa takut kepada mereka yang punya niat jahat terhadapmu. Karena Tuhan akan menghentikan semua penderitaanmu, termasuk menghentikan guna-guna yang selama ini kamu rasakan. Tuhan pun ingin kamu tahu bahwa Tuhan mengizinkanmu terkena guna-guna bukan karena imanmu tidak bisa menolongmu, melainkan untuk mengetahui seberapa kamu percaya bahwa Tuhan akan tetap bersamamu disaat-saat tersulitpun. Tuhan menampung semua air mata yang kamu teteskan, Claren. Perjuanganmu selama ini tidak sia-sia."

Aku termenung. Aku merasa bersalah karena mengambil kesimpulan terlalu cepat. Padahal, kesimpulanku salah. Wanita itupun pergi menjauh.

"Tunggu," kataku. Dia pergi semakin jauh dan tidak menghiraukan panggilanmu.

"Kamu siapa? Namamu siapa dan kenapa kamu bisa tahu tentangku?" tanyaku padanya.

***

Aku terbangun.

*bip.. bip..*

Handphone ku yang berada di lemari kecil disamping tempat tidurku pun bergetar menandakan ada telepon masuk. Mama. Akupun langsung mengangkat telepon itu.

"Halo Ma, gimana keadaan Nathan sama Calistha?" tanyaku langsung.

"Gawat, Clar. Mama tadinya lapor Daniel ke polisi. Tapi ternyata polisinya udah pada disogok sama Opa kamu, jadi Daniel bebas tahanan." Jelas Mamaku.

"Hah? Disogok Opa? Kata Daniel Opa udah bangkrut." Balasku.

"Mama juga kurang tau. Masalahnya Daniel minta uang tebusan ga sedikit dan kamu kan harus dioperasi. Jujur, Mama bingung harus ngapain. Papa bilang kasih aja tapi kasian kan itu juga uangnya hasil jerih Papa." Lanjut mamaku.

Sontak, pikiranku langsung tertuju pada saat dimana aku bertemu Daniel di cafe. "Ma, aku punya satu bukti yang ga terbantahkan. Kita ketemuan di kantor kepolisian pusat." Kataku.

"Claren, maksud kamu apa? Kamu jangan kemana-mana kan kamu lagi sakit." kata Mamaku dengan nada yang khawatir.

"Tenang aja, Ma. Masa Mama ga percaya Tuhan udah sembuhin aku? Aku udah sembuh, Ma. Dengerin aku, mungkin Mama sekarang ga ngerti tapi nanti pas udah dikantor polisi dan kasih buktinya, Mama pasti ngerti." Kataku sambil memutuskan sambungan teleponnya.

***

"Pak, saya mau laporkan kasus penting. Saya yakin ada laporan tentang kehilangan barang sparepart nomor kode MH103 oleh perusahaan Bina Berjaya yang akan mereka lelang minggu depan." Kataku begitu sampai ke kantor polisi.

"Iya, benar. Kamu tahu darimana, Dek?" kata polisi tersebut.

"Saya punya bukti siapa yang curi barang itu, Pak."

Aku merogoh tas kecil yang kubawa dan langsung mengeluarkan handphone ku. Aku menyetel rekaman suara yang telah kudapat dari hasil percakapan Daniel dengan komplotannya.

Terdengar beberapa suara orang dari rekaman tersebut.

"Beres, bos. Udah dapet nih barangnya."

"Lu udah pastiin kan ini barang yang gw maksud? Coba sebutin nomor kodenya."

"MH103 milik perusahaan Bina Berjaya. Ini bener kan barang yang bakal mereka lelang tanggal limabelas bulan ini?"

"Iya, bener. Intinya, mulai besok pagi lu sama gw harus keluar dari rumah kita. Karena kita bakal jadi buronan. Mereka pasti lapor polisi."

Setelah rekaman itu selesai, aku pun berkata kepada polisi tersebut, "Salah satu dari mereka sudah pindah rumah, Pak. Kebetulan dia kasih alamatnya kepada kita karena kita disuruh untuk memberinya uang tebusan, Pak. Dia juga menculik adik saya." Mama dan papa yang berada disebelahku termanggu mendengar perkataanku.

"Baik, saya akan antarkan kalian kerumah tersebut, sekalian saya akan membawa beberapa petugas lainnya untuk melaksanakan penangkapan ini." kata polisi tadi.

Mamaku langsung menarik halus lenganku menjauh dari polisi tersebut. "Clar, kamu dapet darimana rekaman suara itu? Jangan bilang kamu ikutin Daniel pas dia nyuri?" kata Mamaku kepadaku.

Aku tersenyum tipis. "Engga donk, Ma. Aku punya cara yang lebih pinter dan sama sekali ga bahaya. Jadi gini ceritanya."

God Sees My StrengthWhere stories live. Discover now