8.Cerita Diana

440 48 40
                                    

Alena merapatkan jaket yang membalut tubuhnya, cuaca terasa begitu dingin menusuk kulit karena sore tadi hujan menguyur Jakarta cukup deras

Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.

Alena merapatkan jaket yang membalut tubuhnya, cuaca terasa begitu dingin menusuk kulit karena sore tadi hujan menguyur Jakarta cukup deras. Ia berjalan menyusuri trotoar, menuju kafe tempat ia dan Diana mengadakan janji untuk bertemu. Ia sedikit heran, untuk apa malam malam begini sahabatnya itu mengajak ketemuan.

"Nunggu lama?" sapanya saat sudah duduk didepan sang sahabat.

"Sampe lumutan" Balas Diana tersenyum masam.

Alena memutar bola matanya malas.
"Tumben ngajak ketemuan, malem malem gini lagi biasanya juga telfon" balasnya sambil menyeruput capuccino miliknya.

"Gue mau curhat le"

Alena mengangkat alisnya, merasa heran karena tak seperti biasanya Diana terlihat lesu dan ogah ogahan begini.

"Mau curhat apa? Jangan bilang lo patah hati lagi"

"Gue .. Dijodohin... anak rekan bisnis papi"

Satu detik, dua detik, tiga detik sampai detik ke lima Alena baru sadar. Ia mengerjabkan matanya beberapa kali, setelah itu tergelak puas menatap sahabatnya yang terlihat sangat mengenaskan.

"APA?" Alena berseru heboh membuat semua pasang mata menatapnya tak suka, merasa terganggu dengar suara cempreng yang mampir ke telinga mereka.

Meringis kecil Alena berbicara pelan pada sahabatnya itu.

"Lo dijodohin? Apa saking gak lakunya sampe sampe dicariin jodoh segala"

Kembali ia tertawa dengan membakap muklutnya rapat rapat membuat Diana mengeram kesal. Sepertinya Diana salah mencari teman cerita. Curut satu ini memang sangat menjengkelkan.

"Puas ketawanya? Bener bener gak ada kasihan kasihannya sama sahabat sendiri. Terus lo apa? Jomblo abadi?" Balas Diana dengan seringai puas setelah melihat perubahan mimik wajah Alena yang terlihat kesal.

"Terus gue mesti gimana Di kalo lo di jodohin? Harus nangis guling guling ikut sedih?"

"Gue serius Ale, lu bisa gak sih jangan bercanda terus"

Mendengar nada frustasi Diana dengan wajah ditekuk kusut membuat Alena merasa bersalah. Ia hanya spontan tadi.

Berdehem ia menetralkan suaranya. Ia menatap Diana dengan wajah seriusnya kali ini.

"Sorry. Terus lu mau gimana?"

"Gue gak tau, tapi jelas gak bisa menolak permintaan papi. Lu tau kan gue paling gak bisa bikin kecewa orang tua, tapi disisi lain gue juga gak bisa terima begitu aja"

Diana memang tipe anak penurut yang ia kenal sejauh ini, dari mereka smp dulu sahabatnya itu tak pernah pergi sebelum mendapat izin dari orang tuannya. Benar benar anak yang manis.

"Lu masih berharap sama Gara? Kalo boleh gue kasih saran, mending lo terima perjodohan ini. Lagian gak langsung nikah kan? Kalian bisa kenalan terlebih dahulu, mengenali pribadi masing masing".

Diana menghembusakan nafas kasar.
"Gue belum bisa lupain Gara le, gak mudah buat move on. Apalagi kita pacaran gak cuma setahun dua tahun."

"Lu gak bisa karena lu mengantungkan harapan ke orang, lu inget kan siapa yang berkhianat diantara kalian?"

"Pengkhianatan itu gak lebih besar dari cinta gue ke Gara"

Alena berdecak sebal. Berbicara dengan bucin macam Diana ini memang susah, perasaan yang selalu diutamakan dan sepertinya logika tak berjalan lagi.

"Yang namanya pengkhianat tetap pengkhianat Di. Lagian Gara udah bahagia sama pilihannya yang sekarang jadi buat apa lo masih nyimpan perasaan ke laki laki modelan begitu"

Alena gemas sendiri dan rasanya ingin melempar sahabatnya itu ke kolam sekarang juga biar sadar bahwa yang namanya pengkhianatan tak akan pernah bisa dihapus dalam ingatan.

"Gue binggung, belum bisa ambil keputusan apa apa. Semuanya mendadak". Ucap Diana dengan nada putus asa.

Menatap Diana yang benar benar terlihat memprihatinkan, membuat Alena ikut tak tega dan kasihan dengan kisah cinta sahabatnya ini. Ia tau Diana merupakan orang yang setia dan baik walau lebih sering cerewet dan petakilan tapi ia tahu sahabatnya itu memiliki hati yang sangat lembut.

"Jangan terlalu di pikirin, sekarang lo makan dulu. Wajah lo keliatan pucat dan gue gak mau lo sampai sakit karena terlalu mikirin masalah ini. Nanti kita cari jalan keluarnya sama sama".

Mengembuskan napas panjang Alena kembali melanjutkan,
"Lo bisa jadikan kisah orang tua gue sebagai pertimbangan dan jangan gegabah mengambil keputusan"

Yang dibalas Diana dengan senyum kecil. Ia tak yakin tetapi akan berusaha membuka hati untuk orang yang telah dipilihkan orangtuanya. Lagian mami papinya pasti memilihkan yang terbaik untuknya, orang tuanya hanya ingin Diana tak berlarut larut dalam kesedihan. Ya, ditinggal pas sayang sayangnya itu sangat menyakitkan.


****

Alena menatap langit langit kamarnya merenung memikirkan nasib sahabatnya, dibalik sikapnya tadi yang terlihat menjengkelkan juga keterlaluan tapi ia tak dapat memungkiri masalah Diana juga ikut membebani pikirannya. Alena tak ingin Diana terus terusan sperti ini, dibalik sikapnya yang sering bar bar dan tak bisa diam tapi Alena tahu sahabatnya itu hanya menyembunyikan kesedihan dibalik keceriaannya selama ini. Bahkan tak jarang ia melihat sahabatnya itu terlihat kosong dan melamun saat mereka sedang mengobrol. Memang ada wanita yang baik baik saja saat sudah hari H pernikahan mempelai pria membatalkan pernikahan begitu saja? Tentu tidak bukan, rasa malu dan kecewa itu pasti ada. Walaupun kejadian itu sudah dua tahun berlalu tapi kesedihan masih meliputi diri sahabatnya. Dan Alena tahu, orang tua Diana hanya ingin anaknya kembali seperti dulu penuh tawa dan ceria.

Dering ponsel menyadarkan Alena dari lamunanya, menyandarkan tubuh di kepala ranjang ia mengambil handphone dan mengangkat panggilan yang masuk. Dari Bang Rama, bisiknya.

"Halo bang, tumben nelfon baru inget punya adek" ucapnya pertama kali saat panggilan sudah terhubung.

Disebrang sana Rama mendengkus samar
"Salam dulu dek, kebiasaan banget. Kayak anak kecil mesti diingetin mulu"

Alena mengerucutkan bibirnya tapi tak urung mengucapkan salam.
"Ada apa abang Rama ganteng telfon malem malem begini, tau gak aku udah hampir merem tadi" bohong, nyatanya sedari tadi ia hanya melamun.

"Abang mau ke Jakarta lusa, ada pekerjaan di Bali tapi rencana mau pulang dulu kerumah. Abang ambil penerbangan pagi, kalo sampe Soetta abang kabarin. Bisa jemput kan dek? "

"Bakal Ale usahakan bang, tapi nanti kalo gak bisa aku bisa suruh pak Joko yang gantiin jemput"

"Abang sendiri atau bunda sama ayah juga ikut?"

"Abang sendiri, bunda sama ayah kesana bulan Juli rencananaya. Mau liburan sekalian cek vila Di Lembang"

"Yaudah gak papa bang, jangan lupa bawain oleh oleh ya" ucapnya terkikik menggoda.

"Nanti abang belikan tas keluaran terbaru, apa namanya channel? Kalau gitu abang tutup ya telfonya, ngabisin pulsa banyak"

"Gak usah sok susah deh bang, tinggal beli dimana repotnya. Kerja terus uangnya pasti banyak. Kalau gitu yaudah bang, Alena tutup telfonnya. Assalamualaikum abang ganteng"

"walaikumsalam adek cantik" Balas Rama tak mau kalah mengoda adiknya. Alena memang suka sekali memanggil Rama dengan embel embel ganteng. Dan Rama sangat setuju, ia memang tampan sejak masih dalam kandungan.

Kembali merebahkan tubuh dikasur Alena memejamkan matanya, esok akan menjadi hari yang panjang. Entah apakah akan ada kejutan yang terjadi tapi ia hanya berharap hari hari yang akan datang akan banyak kebahagiaan yang ia dapat.

Happy Reading ♥️

6 Juli 2020

Liku KehidupanOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz