Pertengkaran

1.2K 130 74
                                    

Tik...tok...tik...tok...

Detak jam berbunyi setiap detiknya. Meninggalkan setiap detik yang berlalu. Dan meninggalkan hari - hari penuh dengan kesunyian dan penyesalan yang dirasakan keenam elemental bersaudara.

Taufan. Sang bermanik biru permata safir itu, memandang lekat sebuah foto yang sudah agak lusuh. Tertutupi debu dan keusangan yang alami.

Wajah sendunya terpapang jelas. Ibu jarinya mengusap foto yang menampakkan kedua anak yang berbeda umur. Senyuman ikhlas di wajah mereka di foto itu, benar - benar menampakkan kebahgiaan murni. Hidup di era penuh bunga matahari, kilau tawa yang mendekorasi setiap sudut wajah mereka. Kemudian, itu semua menghilang begitu taman bunga matahari itu berubah menjadi mawar di atas sungai merah. Kehidupan yang berubah secara drastis, tak kenal waktu dan tempat. Era kegelapan bagi Taufan.

"Kami sangat suka memarahimu, Solar. Membentak, memukul, mencaci dan menganiaya sosok dirimu yang masih polos akan dunia penuh pembantaian kecil ini. Walau begitu, tak satupun dari kami tahu alasan, mengapa kami memperlakukanmu seperti itu.

Kita semua tertawa girang dahulu. Setiap ada yang terluka, kita semua ikut terluka. Setiap ada yang bersuka cita, kita semua akan senang juga.

Tapi, kenapa? Kenapa kami yang lebih tua darimu, tak mengerti jalan yang kita lewati selama ini? Tak mengerti apa sebenarnya bentuk dunia yang berwarna sempurna ini?

Abang merasa, Solar lebih cocok menjadi anak sulung daripada anak bungsu. Manik abu - abu perak milikmu itu, selalu memancarkan kebijaksanaan. Tanganmu yang kecil dan mulus itu, terus menulis semua pemikiran jeniusmu. Senyumanmu yang manis itu, mengerti dengan semua yang ada di depanmu.

Tak seperti saudara - saudaramu ini. Yang hanya akan bergerak di bawah perintah. Tanpa tahu apa yang sebenarnya kami lakukan. Hanya akan menodong senjata tanpa ada hal yang kami ketahui.

Kami semua tak bisa menjadi dirimu. Kami semua tak akan lengkap tanpa dirimu. Jadi, abang mohon, Solar. Kembalilah, kami semua membutuhkanmu" -Taufan

Mulut Taufan semakin menurun. Diikuti alisnya yang semakin menyusut disebabkan kesedihannya yang belum sebanding dengan keperihan Solar.

Keadaan berubah menjadi tegang begitu mendengar suara sesuatu yang jatuh di lantai atas. Taufan bergegas ke atas dan melihat Duri yang menatap kosong pintu kamar Blaze dan Ice.

"Duri? Ada apa?" -Taufan

"Ternyata, kita benar - benar kehilangan cahaya matahari kita, abang Taufan" *menatap kosong dengan senyuman -Duri

Dari wajah Duri, terlihat ia tak punya apa pun alasan untuk tertawa puas ataupun menangis kencang. Hanya kekosongan mengisi iris hijau zamrudnya. Hanya, senyum hampa yang menghiasi wajahnya.

Taufan yakin, ada masalah di dalam kamar Blaze dan Ice. Duri berlalu ke kamarnya yang berada di samping duo terhebat itu, ia masuk dan menutup pintu itu dengan perlahan. Namun, sebelum ia menutup pintu itu secara total, seolah ada isyarat darinya mengatakan pada Taufan "Jangan temui aku untuk sementara ini, aku akan menenangkan diri".

Lalu, Blaze keluar dari kamarnya dengan wajah kesal dengan sebuah cak merah di pipi kirinya. Ia menuruni tangga, lalu memasang sepatunya dan membuka pintu depan untuk pergi.

Taufan kembali menoleh ke kamar Blaze dan Ice. Pintu itu perlahan menutup, yang sepertinya ditutup oleh Ice.

'Sekarang aku baru mengerti. Semenjak kehilangan Solar, tak satupun dari kami merasakan ketenangan. Semua mulai menggila begitu perginya cahaya matahari kami itu. Akhirnya, aku baru paham, siapa yang sebenarnya bersinar di antara kami' *tersenyum sendu -Taufan

Di Balik Kacamata JinggaWhere stories live. Discover now