estungkara

4.3K 726 97
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



































Sudah pernah mendengar tentang kewajiban bakti kepada ibu?

Semua budaya pasti memiliki cara tersendiri untuk menghormati bagaimana perjuangan seorang ibu dalam sembilan bulan masa kehamilan serta jasanya membesarkan sang buah hati. Istilahnya, peran seorang ibu itu seperti pahlawan yang membangun suatu negeri, menciptakan sesuatu yang kecil tetapi lambat laun akan tumbuh besar nan gagah.

Sebenarnya bukan kuasa Jeno untuk memaksa ibunya memenuhi kewajibannya untuk merawat dirinya semenjak kecil, dirinya itu sudah ditolak bahkan ketika masih berbentuk bayi merah.

Kesal, tapi bagaimana lagi? Itu masihlah orang yang sama yang mengandung dirinya dan mempertaruhkan nyawa hanya untuk membuatnya lahir ke dunia.

"Ibu , bagaimana kabarnya? Saya dengar dua minggu belakangan ini Ibu sedang banyak menganyam daun ya?"tanya Jeno pada seorang wanita cantik yang masih terus menatap kosong hamparan taman di belakang istana, tiupan angin yang menerbangkan satu dua helai rambutnya tidak juga memecah lamunan si wanita.

Laki-laki berhidung bangir itu menghela napas, setidaknya sudah ada lima tahun dia menghilang dari istana, meninggalkan nusantara untuk menuntut ilmu di tanah Nalanda, tetapi ibunya masih memegang teguh pendiriannya untuk menolak si darah daging. Jeno lalu merendahkan tubuhnya, duduk bersimpuh di pangkuan sang ibunda untuk mengucap maaf atas apapun itu kesalahannya.

"Pasti saya gagal jadi putra yang baik untuk Ibu, jika sang Pencipta mengizinkan, maka terimalah permintaan maaf saya sebagai darah dagingmu."

Tubuh Uttejana tiba-tiba bergetar, tetesan air mata jatuh membasahi wajahnya lalu turun menyentuh surai hitam legam anak semata wayangnya. Kedua tangannya yang lemah mendorong kuat bahu lebar sang putra, menjauhkan dirinya agar tidak bersentuhan dengan Jeno yang tadi bersimpuh ria. Tidak, perasaan ini kembali menghantui benaknya, jambakan kuat ia lakukan pada helai rambut panjang miliknya, dia pantas dihukum atas segala tindakan yang dilakukan. Dewa-dewi pasti kecewa atas segala liku hidupnya, mau beribadah sebanyak apapun dosanya di masa lalu maupun masa kini pasti tidak akan termaafkan.

"Pergi!"pekik Uttejana, suaranya tercekik oleh alunan tangis yang mengiringi. Dadanya sakit, jantungnya berdegup terlalu cepat, aliran darah pada nadinya seolah membakar diri atas amarah yang tiba-tiba menyeruak.

Jeno sebagai pihak yang bersalah atas keadaan ini tidak punya pilihan lagi selain mengikuti perintah sang ibu. Matanya terpejam sebentar, tubuhnya dipaksa bangkit dari duduknya, hatinya jelas sakit tapi yang terpenting ia tidak boleh ikut menyakiti ibunya sendiri. Hari ini bukanlah jawaban atas segala gundah yang ia rasakan, mungkin esok hari bisa dicoba lagi. Semoga juga kesempatan masih mau mendekati diri."Maaf Ibu, saya bakal pergi. Sekali lagi saya mohon maaf jika memang ada dosa besar tertoreh dalam diri saya. Agastya benar-benar minta maaf."

Buntara Asmara | Nomin☆Where stories live. Discover now