Tujuh

7K 415 221
                                    

Ivana tidur meringkuk dengan tubuh yang diselimuti selimut dan tangan besar yang melingkar sempurna dipinggang kecilnya. Mata keduanya masih tertutup tanpa memperdulikan kicauan burung ataupun silaunya matahari pagi.

Sedikit pergerakan membuat tubuh yang sedang meringkuk bergerak gelisah. Alfred mengerjap, tatapannya langsung jatuh pada gadis yang sedang tertidur pulas.

Alfred tersenyum, Dia bukanlah pria baik hati, yang rela membiarkan gadis-nya pergi. Dia lebih baik memiliki Ivana yang hanya memiliki satu kaki, dan itu lebih baik.

Tangannya bergerak menarik selimut yang Ivana pakai hingga leher. Dengan perlahan Alfred berdiri melangakah-kan kakinya kearah kamar mandi.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, namun gadis itu masih enggan membuka mata.

Alfred yang mengambil cuti, hanya duduk sembari mengelus rambut gadisnya sayang. Alfred mengecup kedua pipi sesekali melumat bibir ranum milik Ivana.

Ivana yang merasa tidurnya terganggu bergerak gelisah. Alfred terkekeh tidak ingin menganggu tidur gadisnya.

Dengan kaki jengjangnya, Alfred berlajan menuju kesuatu tempat. Tepatnya dimana para bodyguard berlatih. Suasana seketika menjadi hening.

"KEMANA SAJA KALIAN SEMALAM??!!!" Teriak Alfred murka.

Sosok itu menatap sengit pada setiap mata yang tengah menunduk. Jika Alfred marah, mungkin satu atau dua nyawa melayang dalam hitungan detik.

"TIDAK BERGUNA! LEBIH BAIK KALIAN MUSNAH DARI PADA HIDUP TIDAK BERGUNA!!"

Alfred mengambil pedang dan---

Bles.

Teriakan histeris dari pelayan wanita membuat para bodyguard membeku. Wajah mereka kaku, dengan tubuh pucat pasi.

Keadaan menjadi mencekam penuh kabut ketakutan. Aura yang Alfred keluarkan membuat semua menelan ludah, pahit.

Kepala salah satu bodyguard itu menggelinding saat Alfred menendangnya dengan sadis. Tangan kanannya masih mengerat pada benda tajam yang telah merenggut paksa nyawa seseorang dari raganya. 

Keheningan membuat dada terasa sesak. Para bodyguard yang menyaksikan hanya bisa terdiam meratapi kepergian dari salah satu temannya.

Tidak ada yang bisa mencegah jika sang malaikat maut marah. Tidak ada, mungkin jika boleh memilih. Mereka tidak akan pernah ingin masuk kedalam ruang lingkup kegelapan yang di ciptakan oleh sosok mengerikan itu.

"KUNCI SEMUA PINTU JIKA TIDAK INGIN KALIAN MATI."

Wajah Alfred masih mengeras. Tangannya melempar kasar pedang tajam yang sudah berlumur darah. Sedikit tenang, namun tak apa. 

Membunuh adalah sebuah hiburan yang tidak membutuhkan alasan untuk melakukannya. Membunuh adalah kebutuhan yang harus di lakukan setiap kali di butuh-kan.

"Ma-maaf kan sa-saya tuan, kesalahan ini tidak akan pernah terjadi lagi."

Salah satu dari mereka memberanikan diri menjawab. Jika tidak, maka akan jatuh lebih banyak korban lagi.

Alfred menyeringai."Bagus. Dan Ingat! Jika kesalahan ini terulang. Maka kepala kalian taruhannya."

Alfred berjalan pergi meninggalkan semua orang yang menarik nafas lega sekaligus sedih. Mereka semua berlari dan memungut kepala yang sudah pecah akibat tendangan dari sang tuan.

Pelayan wanita menutup mulutnya, tidak tahan melihat kejadian yang buka satu atau dua kali terjadi.

Hanya demi sebuah kertas yang suatu saat tidak akan pernah kita bawa mati. Dan mereka rela menukarnya dengan nyawa. Memang benar, jika uang akan membuat orang rela melakukan segala cara untuk mendapatkannya.

Alfred menepuk nepuk kedua tangan yang tadi telah di gunakan untuk membunuh.

Setelah urusannya selesai, Alfred memilih membelikan gadisnya sesuatu agar tidak selalu bersedih. Seulas senyum kecil terbit saat mengingat bahwa tidak akan ada yang bisa merebut Ivana darinya lagi.

Ditempat lain, gadis cantik itu masih tetap meringkuk didalam selimut tebalnya. Selera hidupnya seakan hilang bersamaan dengan datangnya pria Iblis itu.

Matanya terus menutup dengan mulut yang bergetar. Suasana hening dan dinginnya kamar membuat tubuhnya ikut menggigil. Ditambah kepalanya yang sedari kemarin terus berdenyut.

Ivana membuka mata saat dirasa tangan seseorang tengah mengelus puncak rambutnya.

Wajah Alfred mengeras. Giginya mengatup dengan sorot mata tajam dingin menusuk.

"Kamu sakit? Bagaimana bisa? Arrgghh!! Pelayan bodoh! Baru saja aku tinggal sebentar. Dan dia sudah begini. " Alfred beranjak dengan tangan yang sudah terkepal. Alfred mengambil benda pipihnya dengan tak sabar.

Alfred menoleh,"Aku sudah memanggil dokter." Suaranya melembut.

Ivana menggeleng, dia bergumam lirih dan memberitau bahwa dia tidak ingin dipanggilkan dokter. Dia kuat. Dia bukanlah gadis lemah yang selalu membutuhkan dokter jika sakit.

Dia benci dokter!

"Sekarang istrirahat. Shit! " Alfred menggerang ditempat dan berlari panik kearah dapur. Bola matanya bergerak kesana kemari mencari sesuatu yang bisa di gunakan untuk meredamkan suhu panas gadisnya.

Dan kenapa dokter bodoh itu lama sekali???!!!

Alfred kembali berlari mengabaikan tatapan heran dari para pelayan. Bahkan Alfred lupa jika dia memiliki pelayan yang bisa mengambilkan sesuatu yang dibutuhkan.

"A--a ku, haus." Alfred yang sudah berada dikamar meletakkan mangkuk yang berisi air hangat itu kasar.

Alfred membantu dengan telaten agar tubuh Ivana bisa duduk sempurna. Tubuhnya panas dengan wajah lesu dan bibirnya juga memucat.

Mulut Alfred terus mengumpat saat mengetahui fakta bahwa tidak ada satu-pun pelayan yang tau jika Ivana-nya sakit.

Mati.

Mati.

Mati.

Kata itu terus terucap didalam hatinya.

Tubuh gadis itu lemas. Alfred duduk tepat dibelakan Ivana agar bisa menyanggah tubuh gadisnya agar tak jatuh. Ivana meminumnya dengan perlahan.

"A-a--ku ingin ti--ti--dur." Cicit Ivana membuat Alfred berdiri dan kembali merebahkan tubuh Ivana Agar kembali berbaring.

Dia menurut saja, gadisnya sedang sakit. Dan tidak baik berdebat atau kembali menyakiti batin dan mental gadisnya. Sebenarnya dia ingin menjadi tempat sanggahan dan bisa merasakan bagaimana panasnya tubuh gadis itu saat sakit.

Dia ingin gadis itu selalu bergantung padanya, namun mungkin cara memaksa sekarang bukanlah waktu yang tepat. Alfred duduk tepat didepan Ivana.

Tangannya terus menyentuh kening Ivana yang masih terasa panas. Ivana memejamkan mata, saat dirasa tangan itu terus berada dikeningnya.

Kepalanya terasa berdenyut lebih kencang tak kala ingatan masa lalu berputar dikepalanya. Jika dia sakit, maka sang mamalah akan melakukan hal yang sama seperti yang pria ini lakukan sekarang.

***

Komen sebanyak- banyaknya dulu yuk?!

Baru lanjutttttt😙

KholilatulAis

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Psychopath Love Devil Where stories live. Discover now