Cinta saja belum cukup.

24 1 0
                                    


Hai. Hari ini kita bertemu lagi. Dalam mata yang masih belajar untuk saling memandang, dalam lengan yang sama-sama belum paham cara untuk bergandengan, dan tentunya dalam rasa yang sama-sama belum mampu masing-masing dari kita jelaskan. Hari ini adalah hari dimana acara yang mempertemukan hatiku dengan sosokmu berakhir. Tak terasa, sudah begitu lama aku memandangmu dari belakang, ya. Hehe.

Kamu bilang aku harus datang ke acara ini, yang sebenarnya tanpa kau paksapun kakiku akan melangkah dengan sendirinya, dengan sukarela. Mana mungkin bisa aku melewatkannya, padahal dengan jelas aku tahu bahwa acara ini berjasa besar untukku. Tanpa adanya semua ini, tak mungkin aku bisa menemukan indahnya sosokmu, yang dalam diam sering ku ceritakan pada Tuhan untuk menjadi kita. Mana mungkin aku tak datang. Mana mungkin. Kau suka mengada-ngada saja. Oh iya, benar juga. Sampai hari inipun, kau belum tahu bahwa ku benar-benar mencintaimu, bukan?


Sepanjang itu ku mendekatimu,

selama itu juga kau belum benar-benar mengerti

apa yang sebenarnya menjadi inginku.


Sebelum malam menjemputku dalam pekat, aku sudah siap sedia dengan sebuah rencana hebat. Aku rasa hari ini kita harus banyak bicara, hanya empat mata, hanya ada aku dan kamu di meja dan kursi yang sama-sama kita pesan berdua. Aku mulai melatih pelafalan-pelafalan kata agar tak sedetikpun aku terlihat gugup di depan matamu. Ini benar-benar aneh. Rasanya benar-benar mendebarkan. Biasanya, aku mampu bicara dengan gamblang dan lancar di hadapan puluhan bahkan ratusan orang, namun mengapa ketika mataku dan matamu saling beradu mulutku hanya bisa terdiam?


Aku rasa cinta ini belum cukup,

Lalu kau ingin aku melakukan apa?

Bicaralah, akan ku lakukan saat ini juga!


Tanya-tanya yang tak memiliki relevansi dengan keadaan hati lagi-lagi mulai menghantui. Menjelajah dan membungkam segala hal-hal yang sudah ku pahami dengan pasti. Sialan. Apa yang ku perjuangkan seolah tak pernah ada perkembangan. Berhenti dan tak sanggup melanjutkan perjalanan. Aku kehabisan bensin di tengah upayaku menghapuskan seluruh kepedihan. Menggantinya dengan penuh kepercayaan yang akhirnya hanya semakin mendekatkanku pada kegagalan. Besarnya rasaku padamu memendam segala kata yang ingin ku lontarkan. Semua telah terlewati, dan ku harap ku akan berhasil hari ini.

Malam tiba, acara mulai dengan gegap gempita. Gema suara silih bergantian di teriakan oleh banyaknya mahasiswa yang datang dan memenuhi gedung olahraga malam ini. Begitu ramai, penuh dengan lampu yang silih bergantian tuk bersinar. Dengan biasa, posisiku sebagai pemandu sorak berada di atas meja yang telah disiapkan. Memandu teman-teman bernyanyi demi harga diri kami; begitu kata mereka. Begitu lancar aku mengajak teman-teman bernyanyi, menari dan berteriak bersama. Lagi-lagi malam ini aku bertanya tentang mengapa saat denganmu satu kata saja sulit keluar dari mulut ini. Padahal dengan jelas aku mampu lancar berbicara dengan puluhan orang di depan mataku kini. Lalu mengapa!?


Ah, lelaki lemah.

Kau begitu pecundang—diriku.


Akhirnya semua selesai. Kita di kumpulkan di tengah lapangan yang luas. Setelah sekian lama berlalu lalang, akhirnya aku bisa menemukanmu yang sedari tadi mataku cari. Saat ini, kamu tepat berada di depan pandangku. Lenganku siap memanggilmu yang sedang asyik berbicara dengan teman-temanmu. Langkah demi langkah telah ku lewati dengan pasti. Ketika sosokmu hanya berada satu jengkal saja dari hadapku, semuanya terhenti. Tubuhku membeku. Lenganku tak bisa lagi ku rayu. Mulutku tak juga mampu tuk mengatakan sesuatu. Kegugupan rupanya kembali berhasil membelenggu. Aku gagal lagi. Aku gagal lagi, untuk kesekian kali.


Sialan! Sialan! Sialan! Teriakku dalam hati.



Begitu sulitnya kah sekadar berkata sesuatu terhadapmu?

Begitu hebatnya kah dirimu sehingga aku hanya bisa terdiam membeku di hadapanmu?

Dan begitu luar biasanya kah sosokmu sehingga aku tak mampu mengutarakan rasaku?


Aku paham. Aku sadar. Aku benar-benar mengerti. Bahwa aku lelaki, yang memang seharusnya memulai semuanya. Aku tak ingin kamu yang secara otodidak mengajakku berbicara saat ku mencoba menarik perhatianmu dengan penuh keputusasaan. Aku benar-benar merasa kasihan pada diriku sendiri, apalagi terhadap dirimu. Aku ingin seperti mereka-mereka yang tak ada beban sedikitpun untuk mengatakan sesuatu. Aku ingin seperti mereka-mereka yang bergerak bebas sesuai apa yang mereka inginkan. Aku ingin sekali seperti mereka-mereka, namun apa daya seluruh inderaku selalu saja tak bisa di ajak bekerja sama.

Lalu aku harus bagaimana? Nyatanya, luka-luka yang ku dapat selalu saja hinggap dan berhasil membuatku begitu sulit untuk beranjak dan kembali pada aku yang semula. Ini seperti trauma yang sulit ku sembuhkan dan hanya mampu ku diamkan dengan penuh penyesalan. Aku yakin suatu hari semua akan mampu ku lewati. Aku harap sosokmu yang kini menemani hari semakin meyakinkanku bahwa hal itu mungkin saja terjadi.


Namun, masalahnya...

Apakah kau mau dan mampu menungguku selama itu?



----------------------------------------------

Hai, apa kabarmu?

Ada yang ini ku katakan...

Bisakah suatu saat kita menikmati waktu bersama?

Dengan satu meja dan dua kursi di antara kita?

Hehe.

(Kataku dalam hati saat tanganku hampir meraih pundakmu).

----------------------------------------------

Kata KamuWhere stories live. Discover now