#02 ~ [ Suara Adzan Berkumandang ]

10.4K 1.1K 7
                                    

***

Saat aku berpikir untuk kembali, rasanya terlalu berat. Mengapa manusia mudah sekali berbuat tapi sulit bertanggung jawab?

🌾🌾🌾

"Dia lagi nangis, bro!" pekik Bana memekakkan telinga.

Sontak saja Sakha langsung melayangkan pandangannya kembali ke depan. Memandang lurus lewat jendela ruang tamu rumah Bana. Dari kejauhan, Sakha dapat melihat gadis itu melalui sela-sela pagar besi tempat tinggal Bana.

"Gue kira dia udah nggak nangis-nangis," lanjut Bana lagi.

"Udah nggak?" beo Sakha tanpa sadar.

Bana mengangguk. "Iya. Gue sering lihat dia nangis-nangis di sana. Malam-malam lagi."

"Sering?"

Sekali lagi, Bana mengangguk. Memang benar, ia selalu melihat Ayesha menangis di malam hari. Anehnya gadis itu seperti tak pernah memikirkan pandangan orang-orang sekitar yang melihatnya. Padahal kan, pagar rumah Pak Praja adalah pagar besi berbentuk vertikal yang masih memperlihatkan halaman rumah Pak Praja. Sama seperti rumah Bana.

"Siapa namanya?" tanya Sakha setelah diam beberapa saat.

Bana tampak menoleh, sejenak. "Ayesha. Dia adek kelas gue waktu SMA. Anaknya pendiem banget," kata Bana memberitahu.

Sakha tak menanggapi. Ia hanya bergeming, masih fokus menatap gadis itu yang kini memeluk lututnya sendiri. Tanpa sadar, Skha menghela napas lirih, mengapa dirinya selalu merasa sesak saat melihat perempuan menangis?

***

Baru saja Ayesha tersenyum karena tingkah menggemaskan adiknya ini. Tetapi langsung runtuh setelah sampai di rumah. Sekali lagi, perlakuan Papa selalu membuat Ayesha sakit hati. Ia seperti bukan lagi keluarga ini lagi. Padahal kan, dirinya anaknya, darah dagingnya. Mengapa ia diperlakukan seperti ini?

Rasanya, jika boleh mengadu, Ayesha akan selalu mengadu kepada orang-orang bahwa dirinya tak bahagia. Ia tersiksa dengan sikap dan perkataan Papanya. Namun, di lain sisi, Ayesha tak mau orang-orang malah justru menatapnya kasihan. Ia hanya butuh sandaran, butuh orang untuk membantunya membuat Papa kembali seperti sebelumnya. Menyayanginya.

Ah, sikap Praja memang tak jauh beda saat Amara masih hidup. Hanya saja, beliau tak sekasar ini saat berbicara dengannya.

"Sudah saya katakan, jangan bawa Azriel keluar malam?! Kenapa malah membangkang?!" teriak Praja, langsung membuat Ayesha memejamkan matanya takut.

"Pa ...."

"Mau beralasan apalagi kamu?! Azriel yang menyusul kamu, hah?!" bentak Praja memotong suara Ayesha. "Sudah punya apa kamu sampai berani membangkang saya?!"

"Pa, cukup!!" teriak Ayesha tak begitu keras. Rasa sesak dan sakit hati membuatnya tak bisa lagi berteriak meski hanya untuk meneriakkan keluh kesahnya.

"Kenapa? Masih mau menyangkal?!" potong Praja tak ada halus-halusnya. Setelahnya pria paruh baya itu berdecih sinis, "Mau jadi apa kamu kalo suka keluar malam-malam?! Jangan membawa-bawa Azriel untuk melakukan kebiasaan burukmu itu! Camkan itu!!"

Kemudian, dengan teganya Praja meninggalkan Ayesha yang menangis tersedu-sedu. Gadis itu berlutut saking tak kuatnya menahan beban dirinya.

"Pa, kapan Papa memandang baik Yesha? Kenapa Papa selalu beranggapan kalau Yesha ini bukan gadis baik-baik? Sakit, Pa," isaknya lirih.

Hingga detik kemudian, gadis itu bangkit setelah menghapus kasar air matanya. Ayesha berlari kecil keluar rumah. Lebih tepatnya ke arah taman kecil depan rumah. Taman yang selalu menjadi saksi bisu Ayesha pernah bahagia, meski hanya bersama wanita yang telah melahirkannya. Mama.

Mushaf Cinta Dari-Nya [ TAMAT ]Where stories live. Discover now