1. Cari gratisan, ya?

86 13 33
                                    

Panas.

Suara menggerung dari freezer terdengar makin nyaring saat pintunya digeser terbuka. Sembari berlagak memilih-milih es krim, Kavita memasukkan seluruh kepalanya ke dalam box dingin itu. Sedikit sejuk, tapi tetap tidak bisa mendinginkan kecamuk emosi di dalam kepalanya.

"Dasar botak tambun!" bisiknya lirih penuh dendam, "lihat saja! Aku akan membuatnya memohon-mohon untuk mendapatkan naskahku nanti."

Gadis itu mengangkat kepalanya. Pada dinding kaca di depannya, ia bisa melihat samar-samar bayangannya. Sorot matanya tepat ke pantulan matanya sendiri. "Ya. Benar. Dia memang tidak kompeten. Tidak punya sense sedikitpun. Pengetahuan tentang sastra nol besar. Pikirannya hanya berputar pada pasar dan uang. Antek-antek kapitalis. Materialis. Cih!"

Sedetik kemudian, lirikannya beralih ke tangan kanannya yang masih menggenggam—meremas—erat sebundel gulungan kertas. Naskahnya ... yang baru saja ditolak editornya.

"Apa yang mau kamu capai dengan ini? Lihat! Aku sudah bilang untuk mengubah bagian ini. Puluhan kali! Kau bahkan tidak mau mendengarkanku. Penokohanmu payah. Setting lemah. Latar belakang cerita tidak jelas. Kupikir kau harus ganti genre.  Kita butuh cerita manis yang uwu dan menggemaskan. Bukannya itu lagi trend sekarang? Bayangkan berapa royalti yang akan masuk ke dompetmu, Nak." Sang editor menyesap khidmat pinggir cangkirnya sebelum memberikan senyum lebar. Senyum yang memaknai idenya barusan adalah sebuah terobosan yang brilian. Namun Kavita tahu, di kepala botaknya itu hanya terpikir uang dan keuntungan untuk dirinya sendiri.

"Si Botak itu!" Kavita menyentak keras pintu freezer hingga menimbulkan bunyi benturan yang keras. "Uwu? Nggak inget umur apa?" katanya bergidik jijik.

Masih dengan gerakan kasar yang kali ini mendapat perhatian dari kasir di samping pintu masuk, Kavita merampas sebungkus es krim. Meski mengambil asal, Kavita memastikan bahwa pilihannya seharga kurang dari sepuluh ribu. Ia mesti berhemat. Buku pertamanya tidak terjual dengan baik. Buku kedua masih proses revisi, tapi ia sudah menyerah. Sumpah! Tidak ada lagi yang ingin ia ubah dari tulisannya. Bodo amat. Akan ia cari penerbit lain yang mengerti bahwa tanpa revisi sekalipun, tulisannya kali ini adalah mahakarya.

Berjalan ke arah kasir, ponsel di saku celana Kavita berdering nyaring bersama getaran halus. Sambil meletakkan belanjaannya di meja di depan kasir cowok putih yang tersenyum manis itu, Kavita menggeser layar ponselnya dengan ujung jempol sebelum meletakkannya di telinga.

"Halo, Sayang, apa kabar?" Sebuah sapaan ceria yang Kavita tahu palsu terdengar dari seberang jaringan.

"Tidak perlu basa basi, Deva. Mendengar suaramu membuatku sembelit mendadak."

"Ew! Kau menjijikkan, Sayang."

"Bye!"

"E-eh bentar, bentar! Aku perlu mengingatkanmu pada hutangmu, Baby. Paling tidak, minggu ini kau harus memberiku setengahnya. Atau ... karena aku masih sangat mencintaimu, kuberi keringanan, sepertiga dari total. Atau lunas saja, tapi kita balikan."

Kavita mengatupkan bibirnya. Seakan-akan dengan itu ia bisa meredam amarahnya yang memaksa merangsek keluar dari ubun-ubun. Dengan bertelekan pada meja kasir dan genggaman yang mengerat pada badan ponsel, Kavita siap menggeluarkan mantera pamungkasnya. "Persetan! Bodo amat, Deva! Fakboi. Antek-antek kapitalis. Sama aja dengan si Botak. Kamu munafik tahu nggak? Dulu dengan suara manis menggelikan kamu bilang kamu ikhlas dan bahwa cintamu lebih besar dari sekadar ..."

"Lalu kamu nggak? Akadnya itu hutang, Kavi. Aku memang bilang ikhlas tapi kau tetap bersikeras akan mengembalikan. Dan biar kuingatkan alasannya, kamu merasa direndahkan dengan hal itu. Dengan dibantu materi secara ikhlas oleh laki-laki, kamu, dari golongan perempuan merasa direndahkan. Tapi apa? Sampai sekarang itu cuma omongan! Jadi wajar, dong, kalau aku tagih sekarang."

My Favorite GoodbyeOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz