2. ILYSB

41 10 17
                                    

Look at you go

The world is yours I'll hold it down at home

Even though I hate to be alone

I know this is what you gotta do

I'm happy I'm happy for you

(LANY – what I wish is just one person would say to me)

***

Deva ... sebenarnya tidak sebrengsek itu. Ia hanya jadi laki-laki kebanyakan. Tapi, bukan berarti itu membuatnya otomatis masuk dalam kategori fakboi. Ia lebih bertanggung jawab daripada cowok-cowok labil di kelas itu.

Karena itu, ia mengangkat payungnya persis di atas kepala Kavita kala tengah hari menurunkan rinai hujan di antara panas matahari yang tetap menyengat waktu itu.

Deva memahami Kavita. Ia bahkan percaya diri untuk memberikan pernyataan bahwa ia lebih memahami Kavita lebih dari gadis itu memahami dirinya.

"TIdak selamanya langit bisa menangis buatmu, Kavi."

Gadis favorit Deva itu berbalik. Ada sedikit rona merah di pipi dan bola matanya. Sepertinya, tangisan langit menulari satu manusia.

"Pergi, Deva!" Bahkan hujan tidak lebih dingin dari suara itu.

"Aku ingin bicara." Deva masuk ke lindungan payung. Rambut dan bahunya basah.

"Aku tidak ingin tahu apa-apa."

Mata mereka beradu dalam detik yang melaju. Di latar belakang, suara air hujan makin riuh menabrak semua permukaan. Hanya ada mereka di lorong kota itu.

"Aku cuma ingin kamu dengar."

Kavita mendecak. "Tidak mau."

"Harsika ..."

"Tidak usah sok manis."

"Kembalikan uangku!"

Bukan. Setelah menyebut nama itu, Deva sebenarnya ingin mengatakan hal lain—

"Brengsek!" Kavita mendorong Deva sekuat tenaga.

—tapi, Kavita terlalu menguji kesabarannya.

Gadis itu selalu menguji kesabarannya.

Kini jarak mereka melebar hingga sedepa. Payung kuning cerah teronggok di antara kaki mereka. Hujan akhirnya bisa tertawa, menari di pundak mereka.

"Kau benar-benar akan bertingkah begini sampai akhir?" Deva tidak berteriak, tapi suaranya kentara menunjukkan amarah.

"Memangnya penting buatmu? Tidak ... Apa aku penting buatmu?" Kavita, pada titik ini, memandang semesta sedang menantangnya. Segalanya berdiri di seberangnya. Deva, hujan, matahari, editor botak, password wifi, ibunya, semua. Maka ia akan melawan dengan berani. Ia tidak mau dikasihani.

Deva mendengkus. Ia sekejap mengalihkan pandangannya sebelum kembali menatap mata Kavita yang menyala. "Benar. Kau sama sekali tidak penting, Harsika. Tapi sialnya, aku mencintaimu."

Kalimat itu terlontar dalam nada yang terlalu datar.

Kavita tertegun. Langit mengusap sudut matanya. Tawa hujan mereda.

Ia mungkin terbiasa dengan kalimat cinta Deva yang konyol, acuh tak acuh, dan tak tau aturan. Tidak pernah sekalipun ia siap dengan Deva yang mengatakannya seakan terluka.

My Favorite GoodbyeWhere stories live. Discover now