3. Ink Heart

32 6 13
                                    

Angin berembus. Langit kelabu. Guruh menggeru.

Ia membaca kata per kata dengan lantang.

"Gadis itu sangat menyukai jubah merah pemberian neneknya hingga menolak memakai miliknya yang lama."

Di luar rumah, bersama embusan tipis angin malam, selembar jubah merah tersangkut di tali jemuran. Melambai-lambai nyata.

(unknown)

***

Dharma melambai dari pintu kafe pada Melisa yang meneriakkan sampai jumpa dari boncengan motor Akbar. Kedua karyawannya hari ini pulang lebih awal. Ada acara keluarga. Cucu kesayangan orangtua Akbar ulang tahun yang kedua. Akal-akalan Akbar palingan. Dharma lebih dari tahu bahwa ia ingin mengajak Melisa menemui keluarganya.

Menghela napas, Dharma mengusak rambut bagian belakang. Ia jadi harus bebersih dan menutup kafe sendirian. Untung saja hari ini kafe tidak banyak pengunjung. Cangkir yang dibersihkan jadi lebih sedikit. Meja yang dilap jadi tidak terlalu banyak.

'Cuaca sedang bagus' adalah semua hal yang dipikirkan Dharma ketika ia menarik napas dalam dan mengedarkan pandangan. Hujan tadi siang meninggalkan aroma yang membaur manis dengan aroma komplek pertokoan ini. Lalu, udara sejuk sempurna sebagai medianya. Ditambah, paping blok dan jalanan basah di sekitar berwarna lebih gelap dari sebelumnya dan itu nyaman di lihat.

Dharma cocok dengan cuaca sore ini. Hangat yang sejuk. Maksudnya ... lampu-lampu mulai dinyalakan dan memendarkan warna oranye hangat. Sementara angin terus bertiup lembut memeluk segala dalam lengan sejuk.

Kemeja putih dan rambut ikal Dharma bergoyang diterpa gerak udara. Itu terlihat seperti angin sedang jatuh cinta. Karena dilihat dari manapun, angin jelas membuat Dharma semempesona gorden sutera di jendela terbuka. Cinta bekerja seperti itu kan? Membuat setiap jejaknya tertular bahagia.

Dharma terkekeh jenaka. Sebaris kalimat dari dongeng Senandung Angin melintas di benaknya.

Ia masih berdiri di depan kafe ketika dua pelanggan terakhirnya menyapa sekaligus berpamitan padanya.

Kafe kosong. Ia sendirian. Pukul 7 malam.

Kafe semestinya tutup dua jam lagi. Namun, tutup lebih awal sepertinya tidak akan jadi masalah besar. Paling parah mungkin hanya akan ada kencan yang tertunda. Atau pelanggan setia yang kecewa. Atau bisa saja tugas kuliah yang terlambat selesai. Tidak apa. Toko roti di depan bisa menghibur. Dengar-dengar, makanan manis bisa memperbaiki suasana hati.

Seusai membawa semua peralatan kotor ke dapur belakang, Dharma keluar untuk membalik kursi-kursi di bagian luar sekaligus mengelap meja dan kaca-kaca jendela. Satu. Dua. Tiga. Empat. Meja kelima terletak di paling ujung bersebelahan dengan tempat sampah kecil berwarna kuning. Dharma mengernyit sekilas. Kemeja bernoda hitam kopi dana kertas basah bernoda serupa berjejalan di sana. Dipenuhi rasa penasaran, Dharma mengulurkan tangan, menjepit kain pakaian itu dengan ujung telunjuk dan ibu jari. Tangan satunya yang melepas lap di atas meja beralih mengambil bundelan kertas kosong itu kemudian. Tulisannya samar, tintanya meluntur karena air. Namun, masih ada beberapa bagian yang bisa terbaca.

Kanya mengintip dari balik kaca mobil. Pemuda itu ternyata berjalan ke salah satu lapak pedagang bunga di antara riuh pasar yang asing baginya itu. Dari sini, Kanya bisa melihat senyum lebar sang pemuda ketika seikat bunga bermacam warna berpindah ke tangannya.

Aneh.

Apa ia sedang melihat orang jatuh cinta?

Kanya mendengkus kesal. Di sini dan di sana sama saja. Penuh dengan cinta dan antek-anteknya.

My Favorite GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang