4. Say Yes

24 5 1
                                    

I'm in front of you

I'm right here

Tell me with your lips

Say yes Say yes

(Loco ft. Punch – Say Yes)

***

"So ... it's a yes!" Akbar menghampiri Dharma yang baru saja masuk kafe dengan sekeranjang roti di paper bag di pelukannya. Ia yang baru kembali dari toko roti sebelah, menaikkan satu alis tidak mengerti pada Akbar yang menatapnya berbinar-binar.

Akbar malah memeluk Dharma girang. "Bos, pokoknya kau harus memberikanku hari libur yang banyak."

Dharma menggeliat risih. Geli juga ia dipeluk cowok begini. Ditambah badan Akbar yang tinggi besar. Hiiii.

Sudah begitu, Melisa, di sudut ruangan, terkikik geli memperhatikan mereka.

"Apa sih?" Dharma lepas dari Akbar.

Akbar tersenyum lebar. Matanya membentuk bulan sabit. Ia melirik Melisa di balik bahunya dengan senyum genit. "Semalam aku melamar Melisa," Akbar cengengesan. Persis anak TK yang dapat tiga bintang dalam pelajaran menggambar, "dan dia jawab iya!" serunya kemudian.

"Oh." Diluar dugaan Akbar, Dharma malah menanggapi seadanya. Pendek. Biasa saja. Malah terkesan tidak tertarik. Sama sekali. Laki-laki yang ia panggil bos itu berjalan santai ke balik konter dapur kafe. Ia menyusun roti di keranjang yang terletak di antara mesin pembuat kopi. Sepenuhnya acuh pada berita yang Akbar sampaikan dengan heboh barusan.

Akbar mengikuti gerakan Dharma dengan matanya—yang kali ini menyipit heran. Melisa mendekat, berdiri di samping Akbar dengan ekspresi sama.

"Bos, aku akan menikah."

"M-hm."

"Minggu depan." Melisa menambahkan.

"Aku menunggu undangan," celetuk Dharma sembari berbalik memeriksa kantong-kantong berisi biji kopi di lemari bahan. Tanpa dua karyawannya itu sadari, ia tengah terkekeh iseng.

"Dharma," menanggalkan sebutan formalnya, Melisa mendekat, mengintip Dharma dari balik teko silver ramping kesukaan Akbar. "Serius tanggapanmu begitu saja?"

Mendengar nada dingin tidak santai dari Melisa itu, Dharma terbahak-bahak. Kepalanya ia dongakkan sementara tangannya memegang perut menahan geli. Sesungguhnya ia tidak benar-benar mengerjai dua sahabatnya itu. Mengenai berita itu, ia sama sekali tidak terkejut. Akbar mungkin sering mengeluh padanya tentang tidak pekanya Melisa pada semua perlakuan spesialnya, tanpa mengerti bahwa Melisa hanya sedang bermain play hard to get, khas cewek. Maka, Melisa yang menerima lamaran Akbar pada percobaan pertama bukan berita luar biasa yang mengejutkan bagi Dharma.

.

.

'Closed' belum dibalik menjadi 'Open'. Dharma memutuskan untuk mentraktir Akbar dan Melisa secangkir Iced Americano sementara ia meminum segelas besar yogurt rasa pisang favoritnya. Dharma mungkin menambahkan frasa menyeduh kopi sebagai hobinya, tapi tidak akan pernah memasukkan 'minum kopi' di urutan selanjutnya.

Mereka duduk di salah satu meja, tepat di bawah kipas angin yang berputar manja di langit-langit. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Langit di luar mendung. Namun, udara secara aneh terasa panas seakan memenjara bumi dalam suhu yang hangat yang gamang.

"Selamat." Dharma mengucapkannya untuk ke sekian kali. Senyumnya semakin lama semakin enak dipandang.

Di seberang meja, Akbar dan Melisa tersenyum sumringah. Sejoli itu tampak tersipu-sipu. Dharma menghitungnya. Dalam lima menit mereka duduk melingkari meja, lebih dari sepuluh kali mereka mencuri pandang dan tersenyum malu-malu. Terus terang saja, Dharma tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Ia lebih terbiasa dengan Akbar yang hobi menggoda dan Melisa yang menanggapi galak.

"Tapi ... kalian terburu-buru sekali. Yakin nggak kecelakaan?" Dharma berujar asal, yang ditanggapi pelototan kaget dari Akbar dan geplakan keras dari Melisa.

"Kubuat Abstrak bangkrut, Dharma," desis Melisa berbahaya.

Dharma tergelak sendiri. "Habisnya, kalian buru-buru sekali. Memangnya nggak ada acara lamaran? Bagaimana dengan hantaran? Makan-makan kedua keluarga? Belum persiapan dokumen. Bikin undangan. Sewa we-o."

Melisa melengos, menolak berkomentar.

"Seminggu cuma hitungan kasar, Bos. Bisa lebih, bisa juga kurang." Akbar yang menjawab. "Kami sepakat untuk membuatnya sederhana. Malam ini orangtuaku akan menemui orangtua Melisa, membicarakan hal-hal yang perlu dibicarakan. Lalu sisa waktunya nanti bisa kami gunakan untuk mengurus dokumen-dokumen, undangan, dan keperluan syukuran lainnya."

Dharma mengangguk-angguk. Ia menyesap yogurt pisangnya. "Oke. Tapi yang jadi masalah, kenapa harus minta libur mulai besok?" Raut Dharma jelas menunjukkan tidak terima. Yang benar saja! Mana bisa ia mengurus kafe sendirian? Menyapu lantai, mengelap meja dan kaca, bikin kopi, ngantar pesanan, cuci peralatan kotor, buang sampah—memikirkannya saja Dharma sudah capek.

Melisa berdecak. "Cuma beberapa hari, Dharma. Lagipula kafe nggak begitu ramai 'kan?"

Dharma memutar bola mata. Ia menyandar kasar pada punggung kursi. "Tetap saja, Mel." Laki-laki itu mulai merajuk, "mengurus kafe sendirian itu agak ..."

Lonceng kecil di atas pintu masuk berdenting halus. Seorang perempuan berdiri canggung di ambang pintu. "Pagi?" sapanya ragu-ragu.

Akbar berdiri dari duduknya. "Maaf, kami belum buka."

Perempuan itu terlihat gelagapan. Ia menggeleng-geleng sambil mengayunkan tapak tangan dengan cepat.

"Atau mau cari wifi gratis?" Melisa menyeletuk ketus dalam raut masam.

Seketika sikap canggung perempuan itu lenyap, berganti dengan aura hitam yang mengelilingi sekujur tubuhnya.

Tak ada yang menyadari seulas senyum cerah yang seketika menghampiri wajah Dharma. Sebuah perasaan menyenangkan berdesir di antara aliran darahnya. "Harsika ..."

***

-tbc-

***

[Eung ... Terima kasih. Aku pingin bilang beberapa hal dan tag beberapa orang karena udah sabar menanggapiku selama nulis work ini. Tapi, nanti saja. Aku simpan di a.n rapel-an terakhir.]

My Favorite GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang