7. Blue & Grey

20 5 2
                                    

Where is my angel?

The end of the day

Someone come and save me, please

A weary sigh of a tiring day

I guess everyone's happy

Can you look at me? 'cause I am blue and grey

(BTS – Blue & Grey)

***

Kavita sudah bilang bahwa ia sedang tidak ingin menulis atau bersentuhan dengan tulisannya lagi. Tapi biar begitu, dia tetap datang ke Abstrak. Hari pertama bekerja.

Sesungguhnya ia masih kesal dengan kejadian kemarin. Begitu si cewek pelayan jutek tahu bahwa Kavita menerima tawaran bekerja dari Dharma, cewek itu menyindir dengan kata-kata panas. Sementara itu, Kavita bukan jenis cewek yang akan diam saja ketika diusik. Maka, di pagi hari mendung itu, Akbar dan Deva dapat kesempatan memeluk masing-masing satu cewek demi tujuan mulia menghentikan pertengkaran nirfaedah yang berpotensi memalukan merk dagang. Well, itu bukan hal yang buruk-buruk banget, sih, sebenarnya buat dua cowok itu.

"Kau datang terlalu pagi." Dharma menyapa Kavita yang duduk bosan di kursi luar kafe sambil memainkan ponsel. Seperti biasa, cowok itu baru kembali dari mengambil pesanan roti di toko roti sebelah.

"Kalian juga menjual roti?" Kavita berdiri dan mengikuti Dharma yang berdiri di depan pintu kafe, memutar kunci sebelum menekan handel pintu hingga terbuka. Lonceng kecil berdenting nyaring setelahnya.

Ruangan itu berbentuk persegi panjang. Pada hirupan pertama, udara membawa aroma serupa vanilla. Mungkin berasal dari pengharum ruangan. Pada hirupan kedua, ada selapis tipis aroma khas kopi menyelip di antara aroma manis mentega dan krim. Entah berasal dari mana. Mungkin dari biji kopi di toples dan sisa kue sus bekas camilan semalam? Kavita hanya menebak. Ia tidak tahu Dharma suka kue sus atau tidak.

Dharma berjalan ke balik konter dapur kafe, menyusun roti di satu keranjang yang masih berisi beberapa bungkus roti bermerk sama. "Nggak. Ini camilan kita."

Kavita ikut masuk. Ia duduk di salah satu kursi di depan mesin kasir. "Dharma, apa aku mesti memanggilmu bos seperti karyawanmu yang lain?"

Cowok itu tertawa. Suaranya nyaring dan garing. "Tidak perlu. Panggil Dharma saja."

Kavita mengangguk-angguk kecil. "Oke."

"Tapi aku ingin memanggilmu Harsika," lanjut Dharma cepat, "boleh?"

Kavita tertegun sejenak. Harsika sebenarnya lebih sering digunakan Deva ketika mantan pacarnya itu sedang ingin serius. Atau, saat cowok itu bermaksud mengatakan kata cinta dengan kalimat romantis picisan. Tapi tak urung ia mengangguk juga. Itu hanya nama, bukan? Semua orang bisa memanggilnya dengan apa saja. "Boleh boleh saja."

Setelahnya, tak ada obrolan. Kavita hanya diam memperhatikan sementara Dharma beralih mencolokkan kabel teko listrik ke sakelar dan menumpah sejumlah bubuk kopi ke saringan. "Dharma," sedetik setelah menyebut nama itu, benak Kavita mengaminkan idenya sendiri tentang ia yang suka memanggil nama itu, "Kau suka sekali kopi, ya?"

"Hmmm ..." Dharma menggumam panjang, "Suka. Tapi tidak suka minum."

Kavita tidak melanjutkan meski sedikit penasaran ingin bertanya alasannya.

"Kau sendiri, suka sekali menulis, ya?"

"Hmmm ..." Mengikuti Dharma, Kavita mengawali jawabannya dengan gumaman panjang, "Suka. Tapi tidak selalu."

Dharma membalik badannya. Bertelekan tangan pada konter dapur setinggi pinggangnya, "Ya, benar. Kita nggak selalu bisa suka satu hal dalam semua keadaan."

Kavita terkekeh atas komentar itu. "Ya," balasnya pendek. Ia kemudian mengulurkan tangan, menerima cangkir dari tangan Dharma.

"Kopi hitam?" Kavita menyisip sedikit minuman panas itu.

"Aku menambahkan gula. Jangan khawatir." Dharma kemudian membuka kulkas, mengambil satu botol kecil yogurt. "Kadang kau benci menulis karena apa?" Itu pertanyaan random yang terasa tiba-tiba bagi Kavita. Dia pikir, bahasan tentang hobi satu sama lain hanya akan sekadar. Cuma jadi selentingan pengisi sepi.

Kavita rupanya melupakan fakta bahwa Dharma tertarik pada tulisannya.

"Banyak alasan." Mungkin karena suasana yang nyaman, Kavita jadi tidak keberatan membagi sedikit hal pribadi ke dalam obrolan ringan. "Kau tahu? Semakin kau menyukai sesuatu, semakin besar harapan yang kau bebankan pada dirimu sendiri. Yaaah ... seperti sambutan orang-orang, pujian, kepuasan diri ... tapi dunia tentu nggak berputar di bawah kakimu. 'Tapi' yang lainnya lagi, kau tetap berharap dunia berputar di bawah kakimu. Kamu cuma ingin sedikit lebih bahagia, tapi itu terlalu rumit untuk dipahami."

Dharma menaikkan alisnya tidak mengerti. "Begitu?"

"Kurasa."

"Mungkin kau perlu berhenti membuat harapan jadi beban. Juga berhenti mengharap pujian. Juga berhenti meminta dimengerti. Kau tahu, itu tidak begitu bagus di pandangan orang-orang. Bahagia juga standarnya tidak selalu sama. 'kan?"

Kavita mengedikkan bahu. Tidak peduli. Lagipula ia akan berhenti menulis.

"Kau perlu yakin pada dirimu sendiri."

Kavita mendengkus geli. "Dharma," katanya dalam nada jenaka, "aku merasa aku adalah orang yang paling percaya diri di muka bumi, jadi aku tidak begitu perlu nasihat semacam itu."

Dharma tertawa. Cewek di depannya ini lucu dan kontradiktif dengan dirinya sendiri.

"Kita buka sekarang?" Kavita berujar saat Dharma mengambil cangkir kosong dari pegangannya.

Dharma bergeser sedikit ke bak cuci piring. "Lima belas menit lagi. Aku mau kau menceritakan Bab 1 dulu."

Kavita memutar bola mata. Akhirnya, pekerjaan pertamanya. "Aku mau mulai dari ide cerita."

"Boleh."

Kavita memperbaiki posisinya. Ia mencari posisi paling santai. "Ide ceritanya sederhana. Aku ingin membuat cerita tentang anak yang merasa orangtuanya sangat keren saat masih muda. Dieksekusi dengan plot awal tugas musim panas Pak Greene di kelas sejarah Yamuna. Tugasnya tertulis dengan huruf besar-besar di papapn tulis: 'ceritakan sejarah keberadaan kalian sejak awal mula hingga sekarang. Tugas dikumpulkan dalam bentuk apa saja. Video, tulisan, ilustrasi, terserah. Entri paling mengesankan akan dapat tiket jalan-jalan ke Disneyland.'"

"M-hm." Dharma sekadar ingin menunjukkan bahwa ia mendengarkan dengan baik. "Pak Greene bikin murid-murid jadi pamrih. Tapi, oke ..."

Kavita tidak begitu menanggapi komentar Dharma. Jadi ia melanjutkan, "Nah ... Yamuna pernah mendengar bahwa orangtuanya pernah bertugas sebagai wartawan perang di Timur Tengah. Meraka bertemu pertama kali di tengah kekacauan, jatuh cinta, lalu memutuskan menikah. Maka, ia berencana mewawancarai orangtuanya itu tentang pengalaman keren sekaligus perjalanan romantisnya. Termasuk bagaimana orangtuanya akhirnya bisa mendapatkannya dan tidak memberikannya adik hingga sekarang."

Kalimat terakhirsebenarnya hanya tambahan. Namun, Kavita senang. Ia jadi bisa mendengar tawa garing Dharma lagi.

***

-tbc-

***

(thanks. love you 💞💞)

My Favorite GoodbyeWhere stories live. Discover now