8. The Arc

45 5 19
                                    

Ada satu dua pelanggan. Minum kopi sambil sibuk sendiri. Waktu yang pas untuk menagih cerita, pikir Dharma.

.

.

Yamuna dapat tugas libur musim panas dari Pak David Greene. Guru sejarah tambun berkepala botak yang punya senyum hangat sekaligus tatapan cemas dalam waktu bersamaan. Anak-anak bilang, sih, itu karena Pak David dulunya adalah tentara militer yang bertugas di daerah konflik dan medan perang. Kamboja, Irak, Srilanka, Myanmar. Isu lanjutan yang menyebar kemudian adalah alasan Pak David pensiun dini dari dunia militer sebab mendapat luka tembak di kepalanya. Operasi berhasil menyelamatkan nyawanya, tapi tidak kengerian yang tertanam di ingatannya. Itulah sebabnya Pak David gampang sekali terkejut. Entahlah. Anak-anak kadang membuat pertanyaan jebakan agar Pak David menceritakan pengalaman serunya itu, tapi tidak pernah berhasil. Tidak heran, sih. Kelompok teroris saja tidak bisa dengan mudah mengorek informasi dari tentara yang berhasil mereka sandera, apa lagi anak-anak SMP naif macam mereka.

Tugas dari Pak David tidak rumit-rumit amat. Dia hanya menulis di papan tulis dengan huruf yang besar-besar-sampai Yamuna rasa huruf b-nya mirip dengan perut besar hippopotamus yang ia gambar di kelas seni pagi tadi.

[Renungkan asal usul kalian sejak awal mula sampai saat ini! Tuangkan dalam bentuk apa saja.]


"Tadi bukannya soalnya beda." Dharma memotong dengan protesan. Tapi Kavita hanya memberi pelototan, dan terus melanjutkan.


Sambil menyapu pandang ke sekeliling kelas, Pak David menambahkan dengan suara baritone-nya yang berat, "Entri terbaik akan dapat dua tiket ke Disneyland."

Kelas bersorak senang. Yamuna bahkan mendapat pukulan-pukulan antusias di pundaknya oleh Karina. Gadis berkuncir dua di sampingnya ini pasti sedang membayangkan dirinya menerima tiket itu dari Pak David, lalu kencan manis bersama Joshua Stark-cowok incarannya yang ke sekian-yang ia idamkan akan terwujud.

'Maaf saja, Sobat, akulah yang akan dapat tiket itu.' Yamuna tersenyum miring. Ia rasa kepalanya baru saja dihinggapi ide brilian. Ini lah satu dari banyak hal yang membuat Yamuna suka kelas Pak David. Beliau tahu, selain mengejar nilai, murid-muridnya senang mengejar imbalan.

Maka begitulah. Ketika sekolah berakhir hari itu, Yamuna menolak traktiran makan Burger dari Karina-yang masih super excited dengan janji hadiah Pak David-dan langsung mengayuh sepedanya pulang. Rumah mereka yang kecil terletak di East 85 street tidak jauh dari sekolah. Juga tidak terlalu jauh dari Central Park. Ayah bilang, itu bagian perjanjian pra nikahnya dengan Mama: tinggal di New York dekat dengan Central Park. Di salah satu lembar diarinya, Yamuna menuliskan bahwa Ayah dan Mama adalah orangtua paling aneh yang pernah bisa dibayangkan seorang anak.

Namun, itu kita simpan jadi bahasan lain kali saja. Yamuna mengejar cerita yang lebih menarik. Yang jauh lebih keren untuk dipamerkan di depan kelas.

Seraya menenteng album foto tebal berwarna cokelat usang dengan tulisan 1001 Malam bertinta emas di sampulnya, Yamuna menghampiri ayahnya yang tengah sibuk mengutak-atik kamera. Beberapa partisi lensa bertebaran di meja rendah depan sofa. Dahi ayahnya berkerut-kerut serius seraya mengusap hati-hati kaca bening bundar di tangannya. Sesekali meniup-niup pelan. Sesekali menyapu-nyapu dengan kuas kecil.

"Ayah, masa bersihin kamera tiap hari?"

"Masa liatin foto jadul tiap hari?"

Yamuna mendengus. "Nggak buka album pun Ayah membuatku melihat foto jadul setiap hari." Yang Yamuna maksudkan adalah tembok rumah mereka.

Ayahnya tersenyum tipis sambil mengangkat pandangan dari tangannya, memperhatikan Yamuna yang duduk lesehan bersandar di badan sofa. Tangan kecilnya mulai membuka-buka lembaran album foto itu. Hampir semua potret di sana adalah jepretan ayahnya. Beberapa karya Mama. Beberapa tanpa keterangan. Beberapa ditulisi pesan panjang. Beberapa yang lain berupa robekan artikel dari Surat Kabar.

"Mamamu memang lebih cantik saat di medan perang." Ayah Yamuna kini mengambil lens cover dan memasangnya di bagian depan lensa kamera yang sudah bersih. "Persis kamu."

Yamuna memutar bola mata. Rayuan tidak mutu macam itu sudah ratusan kali ia dengar. "Whatever, Yah."

Kekehan ayahnya keluar, menggelitik telinga Yamuna.

"Yah, ceritakan aku tentang ini." Jari Yamuna menunjuk satu foto landscape ukuran A4 yang menunjukkan empat orang tengah tersenyum lebar dilatarbelakangi pemandangan tandus dibalik pagar kawat. "Bagaimana Ayah dan Mama pacaran di medan perang. Kalian nggak bisa kencan di kafe-kafe keren atau nonton bioskop 'kan?"

Ayah Yamuna menaikkah alisnya, lalu tertawa. "Serius? Ayah kira kau selalu menganggap itu cerita aneh." Ia lalu membereskan benda-benda yang bertebaran di meja sebelum akhirnya mengambil tempat di samping Yamuna. Dengan senyum lebar dan mata memancarkan nostalgia, ia menunjuk satu persatu sosok dalam foto itu. Seraya berdehem serius seakan-akan memulai dongeng paling spektakuler di dunia, ia berkata "Kalau tidak salah ini di Kabul, di markas besar wartawan asing waktu Mamamu mau pulang. Ayah, Mamamu, dan pasangan absurd Mia dan Sadewa."


"Wait wait wait ..." Dharma mengangkat tangannya, "Mia? Sadewa? Aku nggak pernah membaca dua nama itu sebelumnya di naskahmu. Apa aku terlewat?"

"Aku nggak mau pakai nama Deva. Nyebelin. Jadi kuganti. Untuk Maya, aku mau pakai Mia saja."


Yamuna memotong cepat, menahan kalimat ayahnya dan mengeluarkan ponsel. Membuka aplikasi perekam suara kemudian meletakkannya di atas meja sofa.

"Bahan tugas, Yah," cengir Yamuna menanggapi wajah bertanya sang ayah.

.

.

Yamuna membuat tugas musim panas Pak David dalam bentuk novel bergenre historical fiction. Atau ... sebenarnya romance historical fiction karena Yamuna ingin serius pada kisah cinta Ayah dan Mama di selang seling kejadian sejarah yang menjadi latar suasana.

Oke.

Biar Pak Greene yang menilainya.

Yamuna tentu tidak lupa menambahkan sedikit bumbu dramatis untuk menambah tensi dan keseruan. Kelas perlu itu agar ia tidak jadi membosankan.

Beginilah hasilnya.


"Novel di dalam novel?"

"Hm. Kenapa tidak?"


Yamuna member judul "The Arc" untuk tugas musim panasnya di kelas sejarah Pak David Greene. 

The Arc

oleh: Yamuna Dewi

.

.

.

***

-tbc-

***

[Ini postingan terakhir untuk proyek rapelan eliminasi akhir bulan. aku bilang mau tag beberapa orang di akhir, tapi ternyata aku nggak berani. 

so,

thanks. i love you 💜💜]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 30, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Favorite GoodbyeWhere stories live. Discover now