Perpisahan Adalah Kebebasan

41 10 0
                                    

Aku tak perlu basa-basi untuk memulai semua ini. Beruntungnya, kau sendiri yang sudah menjawab satu pertanyaan itu. Aku cukup muak dengan kau yang seolah begitu lugu ketika di hadapanku.

"Apa yang menggangguku?" tanyamu.

Kehadiranmu. Dirimu, tentu saja. Tak ada hal yang mengusik selain karena melihatmu berusaha membuatku rela menurunkan sedikit amarah yang ada. Kau tak akan mampu memahami diriku, sedikit pun. Jika di kepalamu hanya ada ambisi-ambisi tanpa toleransi.

Kau tak memahami betapa aku enggan melanjutkan semua ini. Kau yang tak pernah puas dengan pernyataanku, kerap kali menghantuiku dengan seribu pertanyaanmu.

Iya, kita sudah berseberangan. Kau dan aku sudah tak lagi melangkah beriringan. Keyakinan-keyakinan kita sudah berpindah haluan; kau yang merasa yakin akan bahagia denganku, aku yang sudah yakin untuk meninggalkanmu. Bersamamu justru membawaku pada lembah tanda tanya. Kau membawaku pada labirin paling rumit untuk dipecahkan, aku tersesat tanpa arah dan tujuan.

Berhenti menyalahkanku, Puan.

Ini bukan perkara aku yang ceroboh tanpa menghitung segala konsekuensinya. Setiap jengkal kakiku melangkah adalah keyakinan. Jika kau tak percaya, itu bukan masalah. Yang masalah adalah sebuah kemungkinan terburuk yang mungkin akan merugikanmu.

Bukankah adalah sebuah kerugian untukmu, jika aku tetap bersamamu sedangkan untuk mencintaimu saja aku sudah tak bisa? Percayalah, rasaku sudah memudar. Aku tak ingin kita mengulang sesuatu yang akhirnya akan menyakitimu. Bagaimanapun yang kau lihat, aku tetap tak ingin melukaimu lebih dalam lagi.

Ikhlaskan aku, Puan.

Jalani kehebatan yang kau miliki. Mungkin aku memang tak pantas untuk bisa menemanimu lebih lama. Kau memiliki kewenangan untuk bisa menilaiku sesukamu. Bahkan sah-sah saja, jika kau menganggap aku terlalu main-main untukmu yang begitu sungguh.

Sungguh tak ada kisah cinta yang sempurna. Mungkin kau berpikir aku terlalu cepat menyimpulkan. Tapi apakah kau pernah berpikir, bahwa kau terlalu lambat untuk bisa mengimbangiku?

Coba pikirkan, Puan.

Kesalahpahaman kita bukanlah suatu kesalahan. Sebab di dunia yang kompleks ini, kesalahan bisa saja adalah kebenaran yang keliru mendapat tempat. Semua ini sudah menjelma garis lurus takdir yang tak bisa kau belokkan.

Perihal waktu yang lalu itu; ketika kau dan aku seperti sedang berperang dengan keegoisan yang menjadi tameng kita, tak sedikit pun kau menyadari bahwa untuk menghentikan semua itu hanya diperlukan sebuah perpisahan. Itu saja, tak lebih.

Aku mafhum, api dan panas akan mustahil untuk diuraikan. Begitupun layaknya perpisahan yang pasti akan membuatmu terluka. Atau bisa saja kau akan melawan, memadamkan api tersebut dan mengobati diri lantas kembali memperjuangkan kebersamaan itu bersamaku.

Tapi aku menolak, Puan.

Asal kau tahu, aku akan tetap teguh dengan pendirianku. Sebab jatuh cinta itu hanya perlu dijalani dengan logika yang sehat. Ingin? Perjuangkan. Enggan? Tinggalkan. Jatuh cinta bukanlah paparan-paparan teori di atas kertas. Lebih dari itu adalah keajaiban yang lahir karena ketulusan.

Mohon untuk tak lagi melibatkan aku pada kerinduanmu. Sejatinya jika aku memilih untuk pergi, maka biarkanlah pergi. Jika aku memilih untuk bertahan, bersamamu, maka akan kutemani kau sepanjang masa.

Namun sayangnya, masa-masa itu sudah habis. Tidak ada lagi kisah-kisah manis, semua sudah selesai dan sampai di garis finis. Jika suatu saat aku menyesal, percayalah itu bukan karena aku meninggalkamu. Tetapi karena ketika kita masih menjadi satu, aku belum bisa sepenuhnya membahagiakanmu.

Namun sayangnya, penyesalan tetaplah sebuah penyesalan. Dia tak akan mengubah apa-apa, termasuk kita yang sudah selayaknya berpisah.

____________________________________
© uupadilah (2020)


DIALOGIKAWhere stories live. Discover now