Pulang (Bukan) Untuk Mengulang

20 3 0
                                    

Tak ada lagi denting notifikasi di ponselku yang datang darimu.

Seolah waktu benar-benar sedang mengajarkanku tentang betapa pentingnya arti hadir seseorang yang begitu tulus menemani selama ini, atau mungkin waktu sengaja sedang memberikan pemahaman tentang beratnya rasa kehilangan.

Tak ada lagi pesan yang menyerang bertubi-tubi. Tak ada lagi dering ponsel yang lahir dari kecemasanmu. Kini, semua sudah menjelma sunyi paling perih. Kita sudah menjadi asing sebab jalinan yang pernah ada telah kuakhiri.

Benar, aku kehilanganmu. Tetapi, aku tak ingin mencarimu.

Biarkan saja semua seperti ini. Aku tak pernah menuntut takdir untuk memihak. Tak pernah juga meminta agar semesta berbaik hati. Mungkin di sana kau sudah bahagia dengan entah siapa pun orangnya.

Benar, aku kehilanganmu. Tetapi, aku tak ingin menantimu.

Ketika aku memutuskan untuk meninggalkanmu kala itu, aku sudah berjanji untuk tak akan datang atau memelukmu lagi. Aku berjanji kepadamu, juga kepada diriku sendiri, aku akan berusaha sekuat mungkin untuk tak pulang kepada tubuhmu. Sebab aku takut semua hanya akan menjadi sebuah repetisi yang akan menyakitimu lagi.

Percayalah bahwa aku tak ingin mengingkari janjiku sendiri. Cukup saja janjiku dahulu kepadamu yang tak mampu ditepati, kali ini biarkan aku membayar semuanya. Aku tak ingin menghiasi hidupku dengan begitu banyak kebohongan.

Benar, aku kehilanganmu. Tetapi, aku tak ingin berjumpa denganmu. Kini biar saja kukenang kau pada dinding-dinding ingatan, sebagai apa pun yang pernah dijalani bersama. Cemas itu ada, namun lebih baik kutelan sendiri tanpa harus melibatkanmu lagi.

Selama ini, kita sama-sama berjuang. Meskipun tak bisa kutelaah perjuangan apa yang sudah kau tempuh. Entah mungkin kau berjuang untuk lepas dariku dan mencoba bangkit, atau kau tetap setiap menunggu dan mendekap semua rasa sakit. Aku tak tahu, semua samar.

Di balik keegoisan yang mengurung jiwaku, ada hati yang hampa dan berharap semua menjadi baik-baik saja. Aku ingin berdamai dan kita memperbaiki keretakan yang ada. Tapi patut sedikit kau ingat, bahwa memperbaiki tentu tak harus kembali bersama.

Bersama mungkin akan lebih menguatkan kita. Bersama mungkin membuat kita lebih hebat untuk menerjang kerikil-kerikil kehidupan yang merintang. Namun tak selamanya bersama itu indah. Barangkali kau lupa, sedikit kuingatkan, bahwa sebelumnya kita pernah bersama namun pada akhirnya berpisah. Kita hancur meskipun sudah berusaha bersikap ramah kepada setiap rintangan. Kau paham? Kita gagal.

Kita melalui semua itu dengan air mata dan penyesalan. Aku yang meminta pisah ternyata memaksa pipimu diguyur air mata resah.

Jarum jam yang berputar tak bisa menyelesaikan pertikaian kita. Tak terhitung sudah berapa lama ia berotasi, sangkaku, kita memang bukanlah sepasang yang serasi. Saat ini adalah waktu di mana yang paling kubenci, karena sisa-sisa perpisahan itu telah membusuk dan aromanya menguar di pikiranku.

Tak mampu kusembunyikan, penyesalan itu ada.

Aku pun rindu.

Hujan yang tak kunjung turun setelah sekian lama, kini deras menerjang. Bersama wewangian khas dari sesuatu yang berbau kenangan. Menghadirkan potongan-potongan adegan berkesan di depan mata, di antara rintik hujan ia tampak begitu nyata.

Tak adakah sesuatu yang bisa menghentikannya?

Aku benci merindukanmu, terlebih karena dulu pernah menyakitimu. Bisakah kau mengajakku masuk ke dalam sedikit bagian hidupmu sekarang, apabila ada, mungkin kau bisa menunjukkan padaku bahwa sekarang kau sudah tak sendiri.

Lalu aku akan memaksa, agar bisa berhenti memikirkanmu lagi.

_________________________________
© Uu Padilah (2020)

DIALOGIKAWhere stories live. Discover now