My Quileute 12

6.6K 404 26
                                    

Kau ingin pergi dariku? Yang benar saja Silka."

"Kau sudah sadar?" Tanya Silka yang masih berada diatas dada Falka.

"Aku baru saja sadar, Wolf ku membangunkanku karena marah mendengar kau yang ingin pergi dari kami. Dasar bodoh!" Dengan erat Falka memeluk tubuh Silka sambil mencium kening Silka perlahan.

Silka tak dapat menahan air matanya, isak tangis lolos dari mulutnya. Dada Falka basah oleh air matanya, Silka sungguh bersyukur karena Falka baik-baik saja. "Kau harus istirahat Falka." Dengan suara parau Silka berusaha melepaskan pelukan Falka juga.

"Kau lah jiwa dan raga ku Silka, maka kau pun lah obat termanjur yang aku miliki." Ucap Falka ringan.

Mendengar hal itu membuat Silka bangkit dan melepaskan diri dari pelukan Falka. "Itu tak mungkin Falka, itu sungguh tak masuk akal."

"Aku dulupun berpikiran sama denganmu tapi aku tahu bahwa hal itu benar, mate adalah obat yang paling mujarab yang dimiliki seorang Wolf jantan. Mendekatlah dan aku tunjukkan buktinya." Falka mengulurkan tangannya meminta agar Silka menyambut uluran tangannya.

Silka memandang tangan yang diulurkan Falka, dengan sedikit keraguan Silka menerima uluran tangan Falka.

"Kehangatan dan keberadaamu lah yang membuat luka-luka ini sembuh Silka." Ujar Falka sambil membuka perban yang ada ditubuhnya dengan menggunakan tangan kiri.

Silka terperangah dengan apa yang dilihatnya, luka yang seharusnya masih mengeluarkan darah itu berangsur-angsur membaik hanya karena mereka berpegangan tangan. "Tapi bagaimana mungkin Falka?" Tanya Silka yang masih sedikit ragu.

"Kau itu mateku Silka, kau adalah obatku. Bukankah sudah kukatakan tadi? Masa kau lupa secepat itu, huh." Dengan senyuman Falka mengelus rambut Silka. "Hmmmm... jadi kurasa, kau harus menarik kata-katamu tadi. Kau sudah lihat bukan, meskipun kau bilang dirimu membawa mala petaka tapi bagiku kau adalah dewi penyelamatku."

Silka memandang Falka dan kemudian menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku.. aku tak tahu apa yang harus aku lakukan Falka. Dari awal aku menerima takdir ini selalu saja terjadi kejadian buruk yang menimpa semua yang ada disekitarku. Ayah, ibu Trinson bahkan kau pun aku pula yang membawa semua hal buruk itu. Akulah penyebabnya, bagaimana mungkim aku bisa bersama dengan seseorang jika aku hanya bisa membawa keburukan untuknya."

"Kau itu memang bodoh Silka." Falka menaikkan dagu Silka agar matanya dapat bertemu dengan mata biru indah itu. "Bagiku.. ah tidak bagi siapapun mate adalah segalanya, mate selayaknya cinta sejati yang akan menemani kita seumur hidup. Kau adala mateku, kita telah terhubung dalam ikatan takdir yang membuat aku, kamu bahkan siapapun bingung dengan ikatan kita."

"Ta-tapi."

"Ssstttt. Jangan mengatakan tapi akan takdir kita Silka, aku telah lama menunggumu dan ketika aku mendapatkanmu aku tak ingin melepaskanmu. Apakah kau lupa Silka."

"Lupa tentang apa?"

"Sudah kuduga kau memang lupa. Kalau begitu akan kuingatkan kembali. Jika kau mengatakan kau selalu membawa bencana pada siapapun yang ada didekatmu itu ada penyebabnya, itu karena kau belumlah matting denganku. Itu karena jiwa dan raga kita belumlah menyatu, sehingga apapun yang ada pada diri kita masih lah berat sebelah."

"Aku tetap tak mengerti Falkaaa..."

Falka terkekeh dan mencium bibir Silka secepat kilat yang membuat Silka membantu di tempat. "Jika kau merajuk begitu kau terlihat sangat cantik. Kalau kau tak mengerti itu bukanlah masalah, yang sekarang harus kau tahu adalah baik aku ataupun dirimu kita tak dapat dipisahkan."

"Aku tak tahu Falka, aku takut menyakiti packmu. Mereka semua sudah membenciku meski mereka menunduk hormat padaku tapi dalam isi pikiran mereka semua itu adalah kebohongan. Mereka menyembunyikan rasa takut mereka, mereka takut padaku Falka." Setetes air mata jatuh kembali.

My QuileuteOù les histoires vivent. Découvrez maintenant