Chapter 29 - Komunikasi

1.5K 135 3
                                    

Rania dan Rian belum sempat bertemu satu sama lain lagi sejak kepulangan mereka dari Bantul. Rania juga memutuskan untuk membiarkan Rian menyelesaikan semua pertandingannya sedangkan dirinya saat ini sedang bersiap untuk membuat cabang baru Asiette yang sudah ia rencanakan berbulan-bulan lalu sebelum bertemu Rian.

Abah Musa dan Ibu Juah juga telah pindah dari rumahnya menuju rumah barunya, setelah akhirnya kembali berhasil berjalan dan Rania membuatkan tempat makan nasi uduk sederhana yang ibu Juah impikan.

Rania menaruh wok baja miliknya untuk segera dicuci setelah selesai membuat saus menteganya, ia kemudian kembali berkeliling untuk membantu karyawan yang saat ini sedang menyiapkan bahan makanan untuk esok hari.

Ponselnya berdering begitu Rania duduk di sofa, ia kemudian lekas mengangkatnya, caller id 'Ibu Rian' tak lagi mengejutkannya seperti ketika ibu Rian pertama kali menghubunginya. Semenjak Rania pulang, hubungan keduanya semakin dekat, ibu Rian sering menghubungi Rania sesekali menanyakan kabar dan resep resep kue yang biasanya Rania sudah catatkan.

'Assalamualaikum' salam ibu Rian.

'Waalaikumsalam Bu,' balas Rania.

'Ibu sekarang udah di Jakarta, Rian udah bilang toh ndok sama kamu?' 

'Bilang apa Bu? Mas Rian nggak ngehubungin Rania,' jawab Rania bingung.

'Oh berarti Rian bilangnya ke bapak, sama ibu kamu kali ya ndok?' ucap ibu Rian yang makin membuat Rania bingung karena tidak memiliki spekulasi apapun.

'Ibu sekarang tidur dimana?' tanya Rania.

'Di rumah saudara ndok,'

'Eh ada Rian, ibu tutup ya ndok, Assalamualaikum,'

'Waalaikumsalam,'

Rania pulang pukul sepuluh malam, tepat setelah ia memakirkan mobilnya dan turu untuk masuk ke rumah, alangkah terkejutnya Rania karena untuk pertama kalinya ia pulang jam sepuluh malam dan lampu rumahnya belum gelap, biasanya bunda dan ayahnya akan tidur ketika jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Assalamualaikum," ucap Rania sambil terkejut begitu melihat rumahnya yang sudah disulap sedemikian rupa entah oleh siapa.

"Bunda ini apaan?!!" tanya Rania dengan nada terkejut sambil menyalimi tangan beliau.

"Loh, emang nak Rian nggak ngomong?!" tanya Bunda.

Semuanya makin jelas di mata Rania, esok hari keluarga Rian akan kerumahnya untuk melamar Rania, dan yang lebih parahnya, Rian tidak pernah memberitahunya, tidak ada berita apapun, bahkan setelah mereka tidak pernah bertemu seusai pergi ke Bantul mengunjungi ibu Rian.

Rania yang telah selesai dengan kegiatan bersih-bersihnya memutuskan untuk menghubungi Rian, tak peduli jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, ia hanya perlu konfirmasi dari Rian.

'Halo Ran?'

'Waalaikumsalam mas Rian,'

'Iya, Assalamualaikum. Ada apa Rania?'

'Ini maksudnya apa sih mas? Nggak ada pembicaraan sama Rania tau-tau mas udah mau melamar Rania?' kesal Rania.

'Saya ngerasa waktu ini waktu yang tepat Ran, ibu yang bilang kalo niat baik harus disegerakan,'

'Rania tahu mas Rian, Rania faham. Tapi, mas Rian harusnya bisa ngomong sama Rania, komunikasi yang baik sama Rania, masa hal sebesar lamaran aja Rania nggak tahu menahu?' ucap Rania yang rasa kesalnya sudah sedikit mereda.

'Maaf Ran, saya minta maaf,'

Rania menghela nafasnya panjang.

'Kamu kecewa sama saya ya Ran?' tanya Rian.

'Mas Rian, Rania cuma butuh kita bisa komunikasi dengan baik, mas Rian jangan memutuskan sesuatu sendirian ya, apalagi menyangkut dua orang. Kita diskus, cari jalan keluarnya bareng-bareng,' ucap Rania lembut, membuat Rian yang ada di seberang telpon tersenyum.

'Jadi, saya tetap boleh ngelamar kamu kan?'

'Yakin emangnya mas Rian?'

Permasalahan mereka berdua sudah selesai, Rania yang lebih suka kedamaian dan Rian yang suka mengalah memang cocok satu sama lain.

'Mas Rian, nanti kalau ada orang yang bilang kalau Rania ternyata nggak cocok buat mas Rian dan begitupun sebaliknya, jangan dengerin ya?'

'Kenapa memangnya?' tanya mas Rian.

'Karena kata ayah Rania, cocok itu dibuat mas Rian, bukan dicari,'

Jam tiga pagi, suara diluar pintu kamar Rania terdengar ramai kembali, membuat Rania akhirnya bergegas mandi untuk membantu keluarganya.

Acara lamaran akan diadakan pukul 10 pagi, begitu kata bundanya yang saat ini sedang sibuk membantu anak-anak Asiette untuk menyusun piring untuk tamu.

Mau dengar berita yang lebih parah lagi?
Para karyawannya di Asiette sudah tau tentang acara lamarannya hari ini, tapi tak ada satupun yang berniat memberitahunya karena Rian melarangnya.

"Asik lamaran nih, nyusul aku dong?" tanya Reni girang sambil mencolek Rania.

"Kamu kok nggak bilang sih Ren?" omel Rania frustasi.

"Disuruh mas Rian, dikiranya Reni tuh mbak, mas Rian tuh mau surprise, taunya malah nggak bisa komunikasi sama mbak," ucap Reni sambil tertawa-tawa.

Rania tampil cantik dengan makeup sederhana yang menghias wajahnya, rambut panjang miliknya telah di stylish dengan sedemikian rupa, tak lupa kebaya putih gading yang membalut tubuhnya.

"Ran, cepetan! Rian udah deket," teriak bunda dari luar.

Rania berjalan dengan perlahan-lahan, takut heels tingginya membuatnya jatuh, jujur saja Rania mungkin akan lebih memilih mengenakan safety shoes daripada heels dengan tinggi 10 cm.

Rania untuk pertama kalinya berkeinginan kabur dari Rian, si pria yang Rania kagumi, jantungnya berdetak kencang tak karuan, apalagi begitu Rian membuka suaranya dengan ibu yang menatap Rania hangat.

"Kedatangan Rian dan keluarga ke hadapan ibu bapak sekalian, sebenarnya ingin meminta izin karena saya memiliki tujuan untuk melamar Rania, selaku anak ibu bapak sekalian," ucap Rian yang ditertawai oleh Jeno yang sedang melihatnya dekat tempat makanan.

'Jeno, bersiaplah, akan mbak hajar abis ini,' rutuk Rania.

"Saya menerima maksud baik Rian dan keluarga untuk melamar Rania, tapi semua keputusan ada di tangan anak saya," jawab ayah.

Sebut Rania gila, melamun di acara lamarannya sendiri?! Pernah terbayangkan?

"Gimana ran? Lamarannya mas Rian diterima?" tanya ayah begitu melihat Rania sadar.

"Iya yah, lamarannya Rania terima," jawab Rania yang membuat dua belah keluarga bernafas lega.

Rania melihat Fajar, Kevin, dan teman-teman atlet Rian yang satu persatu datang ke rumah Rania, melihat Fajar menaik turunkan alisnya sambil memberi kode pada Rian membuat Rania entah kenapa ingin memukulnya.

Fajar memberi kode untuk ia dan Rian.

"Nggak usah ditanggepin, dia makin seneng nanti," nasihat Rian pada Rania yang tadinya berniat melemparkan zuppasoup ke wajahnya.

"Lagian mas Rian nemu Fajar dimana sih?!" kesal Rania.

"Di pelatnas lah," jawabnya.

Rania membawa zuppasoup ke hadapan Rian yang sedang dirangkul teman-temannya.

"Apa?" tanya Rian bingung.

"Kata ibu, mas Rian belum sempat sarapan tadi, makan dulu," ucap Rania.

"Asik ya Vin kalo udah punya calon istri," ledek Fajar.

"Iya enak dong, emang kaya lo, bisanya nyakitin anak orang mulu, nggak level sama Jombang kali jar," balas Kevin yang membuat dirinya mendapatkan lemparan sampah kulit jeruk yang Fajar pegang.

"Sialan! Gue lagi, gue lagi. Perasaan gue mulu!" protes Fajar.

𝑬𝒌𝒔𝒕𝒓𝒐𝒗𝒆𝒓𝒕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang