7 | Sadam

270 72 1
                                    

|
• S A D A M •
|

"Gue bilang juga apa Key, kamu tenang aja. Gak ada yang gak bisa Lily dapatkan. Dua ratus juta buat kamu? Itu kecil. Bahkan kalau tadi kita minta 3 kali lipat mereka tetap akan setuju. Percaya deh Key." Dengan bangganya Lily mengungkit kejadian tadi sambil mencengkram kemudi Kevin.

Key juga tidak percaya Marco dan Asraar langsung menganggukan kepalanya tanda setuju ketika melihat nominal yang tertera di rate card-nya. Apakah valuasi dirinya sudah sebesar itu sekarang?

"Kenapa mereka mau ya Kak? Dua ratus juta itu mahal banget loh Kak."

"Hey, ini tentang diri kamu loh Key. Jangan menganggap kamu gak layak untuk itu, nanti orang lain akan berpikiran sama. Tanamkan dalam benak kamu kalau kamu bernilai dan kamu memang layak mendapatkan bayaran sebesar dua ratus juta. Paham?"

"Ya paham Kak, tapi tetap aja, jiwa misqueen aku masih belum sampai sana."

Lily tertawa, "Mulai sekarang kamu harus latihan bermental kaya Key."

"Haha mental kaya tuh macam apa sih Kak? Emang Kakak mau jadi trainernya? Alih profesi jadi motivator dong," balas Key dengan cengiran jahilnya.

Ferrari merah Lily pun akhirnya terparkir di jalan raya depan gang kontrakan Key. Saat Key turun dari mobil mewah tersebut tatapan warga yang lalu lalang langsung membulat padanya. Key hanya membalas tatapan itu dengan senyuman. Tadinya Lily ingin mengajak Key melihat-lihat perumahan baru yang mungkin cocok dengan rumah yang Key inginkan, namun hari itu Key sudah memiliki janji dengan Sadam.

"Hati-hati nyetirnya jangan ngebut-ngebut!" Key melambaikan tangan kala Kevin melaju menjauhi dirinya.

Di depan gang, seorang anak laki-laki yang masih berseragam SMA bersandar sambil menyilangkan kakinya di tiang listrik. Rambut ikalnya yang sudah panjang hampir-hampir terbentuk seperti brokoli, seragamnya yang lusuh dan sudah menguning dapat terlihat dari jauh. Meskipun terlihat dekil adik semata wayangnya itu tetap saja tampan di mata Key. Key membuat reminder dalam otaknya untuk berbelanja peralatan sekolah Sadam yang lebih layak.

"Kenapa gak nunggu di kontrakan aja Dam?" Key menghampirinya.

"Dikunci, gak ada yang bukain," jawabnya singkat.

"Yuk, buruan masuk, takut ada yang ngenalin mbak nih."

Sadam melirik kakaknya sambil menjengit, sejak kapan kakaknya itu takut jika ada yang mengenalinya. "Tadi itu siapa Mbak? Mobilnya keren banget."

"Bos, dia yang bantu Mbak sampai sejauh ini. Gak tahu gimana kalau gak ada dia Dam."

"Oh ... "

Kedua kakak beradik itu menelusuri gang padat penduduk yang kebanyakan berisi kontrakan. Suara tangisan bayi, anak-anak kecil yang sibuk bermain game, sampai soundtrack sinetron 'ku menangis' yang wajib diputar tiap hari di TV itu saling sahut-menyahut karena banyaknya penduduk di sana. Kontrakan Key terletak lumayan di dalam dan mesti melewati beberapa rumah dulu.

"Eh Neng Kekey," panggil seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya makan di teras, tetangga sebelah kontrakannya yang lebih lama menetap di sana. Seenaknya memanggilnya dengan sebutan 'Kekey' nanti orang-orang malah mengiranya sebagai selebhits terkenal asal Nganjuk itu lagi.

Key mengangguk balas menyapa.

Ada beberapa ibu-ibu muda lain yang nampak berkumpul membentuk geng sore-sore begini di depan kontrakannya. "Baru pulang neng?" tanya yang berdaster hijau.

"Iya nih bu."

"Oh, ini siapanya?" ibu yang sedang menyuapi anak tadi bertanya lagi.

"Adik saya, namanya Sadam," Key menepuk pundak adiknya, "Salim dulu gih Dam," Key berbisik, sebenarnya enggan menyuruh Sadam.

"Oh adik, adik kandung?" sergah yang lain sambil memperhatikan wajah Sadam lekat-lekat. Ditatapnya anak laki-laki itu sampai dia merasa risih.

"Iya adik kandung, satu bapak satu ibu," Key mencoba tertawa meskipun hatinya mulai dongkol.

"Habis gak terlalu mirip sih Key, hahaha," kini giliran si ibu berdaster kuning yang bicara. Sudah macam teletubbies saja warna daster ibu-ibu ini. "Tadi pulang dianter pacar ya Key? Mobilnya kinclong bener deh. Ketemu dimana tuh, hihihi."

Oh, sungguh Key ingin berlalu saja tanpa mengindahi pertanyaan-pertanyaan kepo tetangganya itu. "Bukan bu, itu bos saya."

"Oooooh bosss," sahut ibu-ibu itu berbarengan, nampak seperti paduan suara yang kompak.

"Udah enak lah ya kamu Key sekarang. Kata ibu haji --pemilik kontrakan-- kamu juga mau pindah ya sebentar lagi? Udah beli rumah baru? Kerja dimana sih kamu Key? Dapat uangnya kok cepat gitu, boleh dong suami saya diajak kerja bareng. Siapa tahu kecipratan duit kayak kamu. Iya kan buibu? Hahahaha."

"Hahaha, suruh aja suami ibu posting tiktok," ujar Key dengan nada sinis, "Udah ya bu, saya mau istirahat dulu nih." Key menarik Sadam mendekat dan bergegas menjauhi geng ibu-ibu rumpi daster teletubbies itu.

Dulu ketika Key masih menjadi freelancer dan selalu bekerja dari rumah, mereka juga mempertanyakan pekerjaan Key dan malah menyangka wanita itu pengangguran yang malas bekerja. Sampai menyindir-nyindir dan membandingkannya dengan Feby, wanita cantik yang bekerja sebagai pegawai bank di sebelah kontakannya. Sekarang ketika Key sudah seperti ini, mereka pun penasaran mengapa ia bisa menjadi seperti sekarang. Entah ucapan buruk apa lagi yang akan mereka perbincangkan mengenai pekerjaan Key kali ini. Key tidak sanggup memikirkannya. Benar-benar menyebalkan.

"Huh, nyebelin banget sih tuh geng rumpi. Gak bisa apa sehari aja gak ngomongin orang, kesel sendiri gue," Key melempar tasnya ke sofa diikuti Sadam yang langsung selonjoran di lantai. "Salah mulu perasaan hidup gue, miskin salah, kaya salah."

"Sabar Mbak, mereka cuma pengin tips cepat kaya aja sebenernya. Jangan terlalu diambil pusing."

Key meneguk segelas air, "Mangkanya kerja biar cepet kaya."

Sadam hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kakaknya itu.

"Udahlah buruan aja kita cabut dari sini Dam."

"Emang duitnya udah ada Kak?"

Membahas soal uang, Key langsung sumringah. Beberapa hari kedepan rekeningnya akan gendut oleh transferan dari Alpaca. "Gampang lah Dam soal uang, Mbak udah dapat lumayan banyak hari ini. Gimana kalau besok temenin Mbak lihat-lihat rumah yang mau kita beli?"

Sadam mengangguk, "Boleh aja."

"Ya ampun Dam, Mbak gak nyangka banget bisa dapat uang sebanyak ini. Kalau tahu wajah Mbak potensial, dulu jadi artis aja kali ya. Daripada ngambil kuliah lama nggak lulus-lulus."

"Ye, jadi kuliah gak penting nih Mbak?" sergah Sadam.

"EH! Ya penting lah! Sembarangan! Gak semua orang seberuntung gue Dam. Lo mesti tetap kuliah dan belajar yang bener. Gue harap sih lo jadi dokter biar bisa naikin kasta kita dikit Dam."

Sadam menunduk, tanpa disadari air matanya menitik dari kedua netranya. Membayangkan ia harus hidup sendiri tanpa bantuan Kakaknya seperti sesuatu yang mustahil. Yang setegar karang itu Key, yang mengangkatnya ketika mereka berdua sama-sama terluka itu Key, yang selalu ada itu Key. "Mbak ... jangan berubah ya," bisik anak laki-laki berseragam putih abu-abu itu.

"Hah? Apa Dam?" Key yang sibuk memandangi pantulan dirinya di kaca tidak sempat mendengar adegan tersebut.

"Enggak, gak apa-apa."

• Selamat menikmati malam minggu!
• Vote & komentarnya ditunggu untuk kebaikan cerita ini ya guys
• Follow juga ig aku di @hazel.paper :)

Luv💙

The Science of Love [ON GOING]Where stories live. Discover now