38 - Trenta-vuit

14 8 1
                                    

----------



Nena berbalik dan kembali berlari menyusul Lia. Ia melihat langkah Lia yang terseret sudah semakin dekat ke kegelapan. Sekarang bagaimana caranya ia mengulur waktu untuk menghindar dari mulut turbacley hingga Lia masuk ke dalam kegelapan itu. Larinya semakin kencang dan erangan turbacley terdengar seperti ada di sebelah telinganya.

Dalam keadaan genting itu, Kesialan menimpa Nena, kakinya tersandung batu yang entah sejak kapan di sana. Ia terduduk menghadap turbacley yang semakin dekat. Namun Nena tak menyerah, ia bangun lagi, mengambil batu yang menyandung kakinya dan melemparkannya pada turbacley namun batu itu malah terpental lagi ke arahnya dan mengenai pelipisnya. Nena terduduk, kepalanya sedikit pusing.

Turbacley sudah berada begitu dekat dengan Nena yang masih mencoba menahan sakit di kepalanya. Kini darah yang keluar dari pelipisnya membuat mata turbacley semakin merah. Nena menarik dirinya dan mencoba mundur meski dalam keadaan duduk. 

Nena bisa melihat bagaimana lendir-lendir bertetesan dari mulut turbacley seakan sedang menghadap makan malamnya setelah sepanjang hari ia tak memakan apa pun.

Nena sudah tidak bisa apa-apa lagi, mulut turbacley yang sudah terbuka lebar dan bersiap menyantapnya kini hanya bisa membuatnya berteriak kencang dalam kepanikan. 

Bersamaan dengan itu, Lia berhasil melangkahkan kakinya masuk ke dalam kegelapan. Tanpa jeda lagi Lia segera memejamkan matanya, mengatur nafas sambil berfokus pada harapan akan sebuah cahaya.

Lia membuka matanya dan langsung mengarahkan sinar yang terpancar di pergelangan tangannya ke arah turbacley tepat sesaat sebelum mulutnya menyentuh tubuh Nena. Nafas Lia terengah, ia baru saja menyaksikan hal yang membuat tubuhnya bergetar. 

Andai ia terlambat satu detik saja maka ia tak akan bisa melihat wajah yang kini melihat ke arahnya dengan wajah pucat pasi. Meski dari jauh, Lia bisa melihat gerakan mulut Nena yang mengucapkan terima kasih tanpa suara itu.

Turbacley itu mengerang dengan suara yang begitu keras, menyadarkan Nena untuk bangkit dan pergi dari sana. Sinar di dinding terowongan yang semula redup kembali bersinar terang. Sekarang Lia mengerti, ketika sinar redup, si turbacley menjadi kuat, ketika terang ia melemah dan ketika gelap ia terjebak dalam kegelapan itu sendiri.

"hampir saja aku mati" kalimat pertama yang keluar dari mulut Nena ketika ia sampai di sebelah Lia di sisi gelap itu membuat Lia menoleh ke arahnya. Dapat dilihat oleh Lia bagaimana darah yang mengalir di pelipis Nena kini mulai mengering.

"kau pasti tegang sekali, maaf aku agak lambat"

"ku maafkan karena akhirnya kau berhasil" Nena tersenyum, memang baik bagi mereka untuk saling tersenyum dan menyemangati saat keadaan sedang seperti ini

"ini di persimpangan tadi bukan?" Nena mencoba menengok ke belakang dan berkat pancaran cahaya yang begitu terang, ia bisa melihat terowongan lainnya yang sisinya di penuhi tanah, bukan emas seperti terowongan yang ada di hadapan mereka.

"iya, kita sudah kembali ke persimpangan. Sekarang setelah apa yang kita alami tadi, tentang si turbacley dan redup terangnya sinar kuning ini, apa kau punya kesimpulan?"

Nena mengangguk "sinar kuning inilah sumber kekuatannya. Ia menyerap cahaya ini sehingga membuat sinar meredup dan ia menjadi kuat. Begitu pula sebaliknya, ketika ia melemah, sinarnya akan terang karena ia tidak memiliki kemampuan untuk menyerap sinar yang terpancar"

"kau benar, dari awal, kitalah yang menghampirinya di kegelapan, membawa sinar kuning yang terus merambat ke arahnya bersama langkah kita yang berjalan demi mendengarkan cerita dari gema yang sudah memperingatkan kita bahwa semakin jauh kita berjalan, semakin banyak yang kita tahu dan semakin dekat pula kita padanya" ucap Lia, dia masih fokus pada turbacley yang masih mengerang marah dengan mata tertutup itu.

"lalu apa rencanamu? kita tidak bisa terus seperti ini, sinar dari pergelangan tanganmu itu memang menahannya namun tidak mengusirnya"

"kita yang mengeluarkannya dari kegelapan, kita juga yang harus menghantarkannya kembali ke kegelapan itu"

"caranya?"

"lakukan seperti bagaimana kita menemukan pancaran sinar dari sisi terowongan ini"

Nena paham, lalu keduanya berjalan ke arah dimana mereka menyentuh sisi pertama yang memancarkan cahaya. Lia hampir saja tidak fokus dengan sinar lengannya sehingga hampir saja turbacley itu terbebas dari ketidak-berdayaannya. Sesaat setelah mereka menyentuh sisi itu, seketika sinar yang terpancar oleh sisi yang tersentuh itu padam.

Nena tampak semringah, ia mengerti sekarang. Jalan kemenangannya atas turbacley yang masih mengerang marah itu kini ada di hadapan mereka.

"tunggu sebentar" ucap Nena kemudian ia bergegas mengambil tanah dan mengantongi sebanyak mungkin yang bisa muat dalam seluruh saku yang ia miliki.

"kau mengambil tanah?"

"iya, aku harus memastikan bahwa saat semuanya gelap, turbacley punya penghalang untuk menyerang meski aku tahu ia tak punya energi dalam kegelapan"

Lia mengangguk "sikap kewaspadaan" simpulnya

Nena kemudian memegang tangan Lia yang terbebas. Mereka siap membawa kegelapan ini berjalan bersama mereka. Secara bersama mereka melangkahkan kaki ke arah turbacley. Setiap langkah mereka yang berjalan dari sisi gelap itu membuat sinar yang terpancar padam seakan kehabisan energi.

Satu langkah, dua langkah...

Mereka terus berjalan maju membawa kegelapan sedangkan turbacley mundur perlahan sebab tidak tahan dengan sinar dari pergelangan tangan Lia yang semakin dekat padanya. 

Lendir-lendir di lantai terowongan itu sedikit menjijikkan dan licin namun mereka tak berhenti karena itu. mereka terus berjalan untuk menghantarkan turbacley yang marah kembali pada tempat dimana ia tak bisa berbuat apa-apa.

Semakin dekat ke tempat tidur panjangnya, turbacley itu tidak lagi mengerang penuh amarah seperti sebelumnya. Kini ia merintih sedih dengan air mata yang menetes keluar pelan-pelan seiring rintih sedihnya. 

Hampir saja Lia meredupkan cahaya di pergelangan tangannya sebab merasa iba. Sadar akan hal itu, Nena menggenggam tangan Lia kuat-kuat agar Lia tidak terpengaruh dan keluar dari rasa iba yang merasuki hatinya.

"jangan goyah, itu adalah salah satu trik licik dari seekor turbacley. Saat ia merasa akan kalah, ia akan mencoba memanfaatkan perasaan mangsanya agar iba padanya. Turbacley suka darah dan kita adalah makhluk berdarah, jika kau mengampuninya maka ia akan memakan kita"

Mendengar itu, Lia bergidik ngeri. Rasa kasihannya bisa saja membuatnya mati. Kebaikan hatinya bisa saja membunuh dirinya. Ternyata menjadi kejam tidak seburuk itu. Tak apa terlihat jahat daripada menjadi baik lalu tersiksa karena kebaikan itu sendiri. 

Memang, bersikap baik adalah perbuatan yang mulia, namun baik pada yang ingin mencelakakanmu adalah sebuah kebodohan. 

Langkah yang terus maju itu akhirnya membawa turbacley itu ke titik terakhir dimana sinar kuning terpancar. Berkat sinar dari lengan Lia, mereka tetap bisa melihat bagaimana wajah turbacley itu yang seketika hilang erangan, tangisan, ekspresi marahnya. Kini yang tampak hanyalah wajahnya yang damai dengan mata yang tertutup di kegelapan itu.

Lia dan Nena sampai pada titik terakhir sinar itu terpancar. Langkah terakhir mereka membuat semua pancaran sinar itu seketika menghilang. Sinar yang sempat membangunkan turbacley itu dari tidur panjangnya.

Lia dan Nena memastikan bahwa turbacley itu telah kembali ke dalam penjara mimpinya. Keduanya menarik nafas lega. Sekarang bereka dapat dengan bahagia keluar dari bukit ini dengan fakta bahwa mereka menang dalam pertarungan pertama untuk 15 tahun hidup mereka.



TBC
Jangan lupa vote dan komen juga yaa,
selamat membaca part berikutnya.

THE YELLOW SKY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang