47 - Siwwenzegzegzeg

15 7 0
                                    

----------

Sekarang Sean sedang fokus menatap deburan ombak yang datang silih berganti. Rovice baru saja meminta Sean agar memisahkan satu ombak dari ombak berikutnya. Dalam arti lain, Sean harus membuat ombak paling depan tertahan di tepi pantai. Syaratnya hanya menahan sejumlah air agar tidak kembali ke lautan.

Mata Sean tertuju pada satu ombak yang akan mendekat. Tangannya bersiap untuk mengeluarkan kemampuannya. Fokusnya tak terpecah dan itu membuat Rovice sadar bahwa tidak ada apapun yang perlu di ajarkan lagi pada Sean, dia sudah sangat ahli.

Seketika ombak sudah siap menyapu tepi pantai lalu Sean melancarkan aksinya. Sean sedikit menggerakkan tangannya dan berhasil. Satu ombak tertahan di tepi pantai sebelum lebur diantara pasir-pasir itu. Benar-benar pengamatan yang hebat. Sean tahu kapan tepatnya ia harus bergerak. Sean memainkan ombak yang tertahan itu, ia membuat air berputar sepanjang garis pantai. Melihat itu, Rovice merasa takjub, ia sudah cukup yakin dengan kemampuan Sean.

"lepaskan ombak itu bersamaan dengan datangnya ombak berikutnya" Perintah Rovice

Sean tersenyum singkat, itu bukan hal sulit baginya. Tepat saat ombak berikutnya menyerbu pantai lagi, Sean melepas ombak yang ia tahan dan air kembali berbaur seperti sebelumnya.

"kau memang luar biasa Sean" puj Rovice

---------

Beralih ke tempat Nena. Sekarang Nena sedang membangun sesuatu dengan tanah. Semacam dinding perlindungan yang mungkin suatu hari ia membutuh kemampuan itu untuk melindungi diri.

"perkuat bantengmu Nena, buat tanah menurutimu sepenuhnya" ucap Jijusa.

Nena mengangguk dalam fokusnya, sekali-kali ia berteriak dengan perintahnya. Saat yakin bahwa banteng buatannya telah kuat seperti perintahnya.

"kamu yakin ini sudah kuat?" tanya Jijusa

"Iya, aku yakin" Jawab Nena pasti.

Jijusa berjalan mendekat ke arah benteng yang Nena buat, ia memperhatikannya dengan seksama.

"pengendalianmu masih belum stabil, masih sangat jauh" ucap Jijusa

"tapi aku sudah sering melatihnya, bahkan sekarang hampir semua yang ku perintahkan selalu terbentuk sempurna" bantah Nena

"belum sepenuhnya Nena, lihatlah ini"

Jijusa meletakan ujung jari telunjuknya pada benteng yang Nena ciptakan dan seketika tanah itu lebur dan runtuh tanpa tersisa.

"tentu saja ia akan hancur, kamu juga menguasai elemen tanah, aku yakin kamu memerintahkannya untuk hancur"

"Oh tidak Nena, aku sama sekali tidak menguasai elemen tanah, sihir bukan hanya tentang elemen" ucap Jijusa sambil berjalan mendekat ke arah Nena.

"sihir yang baik dihasilkan oleh manusia yang berkepribadian baik. Sihir yang baik, berasal dari hati yang baik" sambungnya

"jadi apa hubungannya penjelasanmu itu dengan apa yang baru saja terjadi. Kita sedang membahas bagaimana caranya aku menguasai elemen yang menjadi dasarku"

"tentu saja ada. Nena, dasarmu adalah tanah maka menyatulah dengan tanah"

"maksudnya?"

"maksudnya kamu harus mengerti seperti apa tanah lalu kamu akan menguasainya sepenuhnya. Namun ingat, tanah bisa menyelamatkanmu dan juga bisa mencelakaimu"

"sekalipun aku sudah menguasainya?"

Jijusa mengangguk.

"mau dengar satu prinsipku yang membuatku tetap menjadi penyihir yang tak merusak sampai hari ini?"

"apa?"

"tetaplah berpikir bahwa hidupmu akan lebih damai jika kamu memelihara kebaikan hatimu" ucap Jijusa

Nena mengangguk walau ia masih belum cukup paham.

---------

Malam tiba.

Para penyihir muda duduk dan memakan makanan mereka di ruangan besar yang selama enam hari ke depan akan menjadi tempat makan, tempat tidur sekaligus tempat latihan mereka. Semua menikmati hidangan malam mereka kecuali Bigusta, ia mengabaikan makan malamnya dan tetap sibuk latihan pedang di luar ruangan itu.

"kita seperti sedang menonton acara tanding pedang" ucap Sean setengah berbisik

Nena mengangguk setuju "ternyata asik juga ya, nonton sambil menikmati hidangan seperti ini"

"aku rasa Bigusta benar-benar mempersiapkan dirinya sebaik mungkin" Ucap Lia

"tapi percuma saja. mempersiapkan kemampuan memang baik, tapi memastikan kondisi tubuh juga tak kalah pentingnya. Memangnya apa gunanya kemampuan hebat namun kondisi badan sedang tidak sehat?" ucap Sean

"kau benar, harusnya Bigusta duduk dan makan bersama kita, bukannya malah latihan pedang" Nena berkata tepat setelah ia menghabiskan makanannya.

"Sean, apa kamu juga ahli bermain pedang?" tanya Lia penasaran

"tentu saja. Aku sadar bahwa terkadang dalam hidup, kita tidak bisa mempercayakan keselamatan kita pada kekuatan sihir yang kita miliki. Teknik bermain pedang juga sangat penting" Sean menjawab lalu ia membereskan piring kosong di depannya. Dia telah selesai makan.

"kalau begitu, coba kamu lawan Bigusta" tantang Nena

"tunggu sebentar lagi, perutku sedang sibuk mencerna makanan yang baru saja ku makan. Aku memang sedang berpikir untuk beradu kemampuan dengannya" ucap Sean.

"mari kita melakukan itu juga" ucap Lia

"apanya?" Lia tak paham

"latihan bermain pedang. Kita juga sudah sering berlatih" ucap Lia

"jadi kita juga bergabung dengan Bigusta?"

Lia mengangguk "Duel sampai kita menemukan siapa yang akan bertahan sampai akhir" ucap Lia

******

Lia dan Nena kini berdiri saling berhadapan. Tangan mereka telah memegang pedang masing-masing. Sedangkan Bigusta dan Sean kini berperan menjadi penonton. Mereka telah sepakat untuk bertanding.

Lia dan Nena menunduk sebagai salam pertandingan. Lalu keduanya mengambil posisi dan permainan dimulai. Nena memainkan pedangnya dengan amat lihai. Sedari tadi ia berhasil menangkis serangan demi serangan yang dilancarkan Lia.

Mereka terus bertarung, Melihat adiknya yang begitu mahir membuat Bigusta menonton dengan semangat. Ia tidak menyangka bahwa Nena sang tuan putri ternyata tidak manja sebagaimana pemikirannya selama ini. Bigusta memang bukan kakak yang baik. Adiknya sendiri pun ia pernah meremehkannya,

Disisi lain Lia masih semangat. Ia sama sekali belum kewalahan. Nena memang sesekali hampir membuatnya tergores namun tubuhnya masih cukup terampil menghindarinya. Suara pedang yang bergesekan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan ini. Permainan akhirnya berakhir saat Lia berhasil mengacungkan ujung pedangnya ke wajah Nena.

Nena kalah, dan Bigusta kecewa karena itu.

Nena dan Lia bersalaman setelahnya "kamu semakin hebat Lia" puji Nena

Lia hanya tersenyum simpul.

"lain kali aku akan mengalahkanmu" ucap Nena, ia tak serius mengatakan itu.

"kalau begitu, teruslah berlatih" balas Lia.

Sekarang gantian Lia dan Nena yang menonton. Sean dan Bigusta sudah menunduk hormat sebagai permulaan lalu mereka langsung menyerang tanpa jeda untuk mengambil posisi masing-masing. Pertarungan antara laki-laki memang terlihat lebih sengit daripada pertarungan antara perempuan. 



TBC
Jangan lupa vote dan komen juga yaa,
selamat membaca part berikutnya.

THE YELLOW SKY (TAMAT)Where stories live. Discover now