Topi Sekolah | 19

116 16 1
                                    

Upacara adalah hal yang paling menakutkan untuk sebagian murid SMA Cempaka bagi mereka yang tidak membawa atribut lengkap ke sekolah.

Bagaimana tidak. Jika hukumannya adalah berdiri di depan barisan selama upacara berlangsung, belum lagi jika harus dihukum membersihkan kamar mandi sekolah dan dikurangi poin tata tertib, kalau di ibaratkan seperti pepatah 'sudah jatuh tertimpa tangga' hal itu sudah cukup menjadi alasan banyak murid yang malas ikut upacara jika tidak membawa atribut lengkap, mungkin mereka akan berpura-pura sakit dan pergi ke UKS agar terhindar dari upacara.

Itulah yang biasa dilakukan Dhifa saat minggu pertama upacara, karena tidak membawa topi, ia jadi berpura-pura sakit agar bisa menghindari upacara. Tapi sepertinya hal ini tidak akan terulang lagi untuk saat ini. 

Dhifa baru saja sampai di kelas, ia langsung mencari topi yang merupakan atribut lengkap upacara selain dasi, dan name tag.

Ia membuka tas tapi tidak menemukan topinya. “Gue nggak bawa topi.” Ini sudah kedua kalinya di kelas XII Dhifa tidak membawa topi saat upacara. Memang di SMA Cempaka upacara hanya dilaksanakan dua kali dalam sebulan, di minggu pertama dan minggu ketiga, ini sudah masuk minggu ketiga, dan lagi-lagi Dhifa tidak membawa topi sekolah.

“Gak bawa lagi?” tanya Sandra memastikan.

“Lupa.” singkat dan cukup jelas, mampu membuat kedua sahabatnya menghela napas.

“Kan, udah sering dibilang, Dhif. Lo itu orangnya pelupa, harusnya tuh topi di taro di loker. Biar siap siaga,” ucap Ara mengomel.

“Nah tuh dengerin. Kita baru aja tiga minggu jadi anak kelas XII. Lo udah dua kali lupa bawa topi,” ucap Sandra. 

“Pasti lo bakalan dihukum sama Bu Tuti. Mau alesan lo sakit terus ke UKS juga bakalan ketauan, apalagi ini udah kedua kalinya, Dhif,” kata Ara seakan mengingatkan.

Tepat setelah Ara mengatakan itu, suara nyaring Bu Tuti terdengar memenuhi speaker sekolah meminta semua murid agar segera bersiap-siap ke lapangan karena upacara sebentar lagi akan dimulai. Sebagian murid di kelasnya sudah keluar kelas menuju lapangan, tersisa mereka bertiga yang masih berdiam diri di kelas.

“Terus sekarang gimana?” tanya Ara kepada Dhifa.

Dhifa berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan sahabatnya itu, “Lo berdua sahabat gue, kan?” tanya Dhifa yang mendapat anggukan dari Sandra dan Ara. 

“Kalo gue minta tolong, pasti mau dong?” tanya Dhifa kedua kalinya sambil memasang senyum semanis mungkin.

“Firasat gue mulai gak enak, Ra,” ujar Sandra.

“Sama.”

Dhifa tersenyum tak menghiraukan ucapan kedua sahabatnya itu, “Citra dimana?” tanyanya.

“Lo ngapain nanyain Citra?” tanya Ara balik.

“Dimana dia?” tanya Dhifa lagi.

“Tadi sih gue liat dia sarapan ke kantin bareng sama Tika” jawab Sandra. 

“Bantu gue cari dia,” pinta Dhifa lalu berjalan keluar kelas. 

*****

“Gimana? Udah kenyang?” tanya Citra pada Tika.

“Kenyang banget ini, sih. Semangat upacara deh gue kalo gini,” jawab Tika sambil menampilkan deretan giginya yang rapi.

“Citra!” mendengar ada yang memanggil namanya, Citra memberhentikan langkahnya tepat di depan tangga lantai satu, yang berhadapan dengan lapangan outdoor.

“Lo manggil gue?” tanya Citra heran, setelah mengetahui kalau Dhifa yang memanggil namanya.

“Iya.”

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang