File 10: Suka Tidak Suka Itulah Faktanya

77 8 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Inspektur menggeleng dengan lesu. Begitu pula dengan yang lain. Mereka semua langsung tak bergairah.

"Sialan. Dia berhasil kabur!" kata Inspektur dengan jengkel. Ia memukul mobil van itu dengan tangan kosong saking kesalnya.

"Tapi, mengapa dia meninggalkan mobilnya disini?" tanya Retna dengan heran.

"Pria itu pasti sadar kalau sedang diikuti," jawab Raka dengan nada geram. "Dengan terus memakai mobil ini berarti sama saja memudahkan polisi untuk melacaknya"

Ekspresi Wina dan Raka terlihat sangat kecewa. Retna merasa kasihan karenanya. Pasti mereka sudah lelah menyelidiki kasus ini.

Apalagi, kewajiban lain sebagai murid sekolah juga banyak. Mulai dari mengerjakan PR sampai tugas kelompok. Kadang dia heran bagaimana mereka bisa bertahan sampai sejauh ini.

Inspektur Wangaya kembali mengamati sekeliling. Ia memandang kejauhan, dan melihat sosok polisi lalu lintas sedang berjaga di ujung jalan.

"Kalian tunggu disini sebentar" kata Inspektur.

Ia segera berlari kecil dan menghampiri polisi lalu lintas itu. Dari jauh ia tampak sedang berbincang dengannya. Ketika inspektur kembali dengan wajah murung, mereka sudah tahu apa artinya.

"Jadi, polisi itu bilang apa?" tanya Raka penasaran.

"Katanya dia tidak melihat apapun" jawab Inspektur. "Sejak tadi ia fokus mengatur kendaraan yang ingin pergi ke festival"

"Wajar saja. Parkir dan meninggalkan mobil kan tindakan yang sangat biasa. Jelas ia tidak merasa curiga," kata Wina.

"Pokoknya, kita harus kembali ke rumah Rachelle. Bantuan yang kupanggil sudah tiba disana" kata Inspektur.

Ketiga remaja itu mengangguk. Ketika ingin kembali ke mobil, Retna menengok ke tanah kosong di belakangnya. Ia merasa ada yang mengamatinya dari balik pepohonan rindang.

Merasa kalau itu cuma perasaannya saja, ia langsung pergi mengikuti teman-temannya.

*--------------------*

" Apa? Bagaimana bisa?" seru Inspektur ketika sedang menelepon.

Mereka baru saja tiba di kantor polisi, ketika Inspektur menerima panggilan dari anak buahnya. Ternyata, Bu Tenaya telah hilang dari kantornya.

Menurut polisi yang mengawalnya, saat itu Bu Tenaya meminta izin pergi ke toilet untuk buang air kecil. Setelah ditunggu beberapa lama, perempuan itu tak kunjung keluar.

Merasa curiga, dua polisi wanita pun mendobrak pintu toilet, dan mendapati ventilasinya sudah jebol.

Ukuran ventilasi itu cukup besar, dan muat untuk dilalui satu orang. Dia pasti kabur lewat sana.

"Cepat hubungi semua personel di lapangan" perintah Inspektur kepada bawahannya.

" Suruh mereka mencari wanita ini. Dia adalah buronan kita sekarang"

"Siap!" seru petugas polisi lain sembari memberi hormat.

Inspektur mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali ia mengusap wajahnya untuk menghilangkan penat.

"Kasus ini semakin memusingkan," keluhnya.

" Tapi, apakah benar Bu Tenaya terlibat dalam sindikat narkoba?" tanya Wina. Wajahnya tampak tidak percaya.

"Suka tidak suka memang itu faktanya," kata Inspektur.

"Kau lihat sendiri bukan? Dokumen yang ada di ruang kerja Bu Tenaya berisi surat perintah rahasia untuk kapal pesiarnya, agar transit di beberapa pelabuhan dan menaikkan muatan 'khusus' disana"

"Anehnya, semua pelabuhan itu dicurigai sebagai tempat geng narkoba Sanhairen menyelundupkan barang mereka"

"Salah satunya adalah pelabuhan Singapura. Kepolisian negara itu sudah mengabarkan dugaan kalau narkoba itu diselundupkan lewat kapal pesiar"

"Selain itu, kita juga menemukan sebungkus heroin di laci mejanya. Itu sudah jadi bukti kuat untuk menangkapnya"

Ekspresi ketiga remaja itu mendadak lesu. Berat rasanya untuk menerima kenyataan bahwa wanita itu anggota sindikat narkoba.

Jaman sekarang semua orang seperti bertopeng. Di depan terlihat baik namun ternyata jahat di belakang.

Tiba-tiba, alarm jam tangan Retna berbunyi. Ia terkejut ketika melihat jarum jam.

"Astaga, sudah jam tujuh malam" serunya dengan kaget. "Maaf, sepertinya aku harus pulang duluan"

Ketika Retna ingin pergi, langkahnya dihentikan oleh Inspektur.

"Tunggu sebentar. Kau mau pulang naik apa?" tanyanya.

"Um, sepertinya aku ingin naik bus saja dari sini" jawab Retna.

Inspektur menggelengkan kepalanya. Lalu, ia memanggil salah satu anak buahnya.

"Petugas, tolong suruh salah satu detektif untuk mengantar gadis ini pulang," perintah Inspektur

"Tapi, Inspektur......."

"Tidak apa-apa. Anggap saja ucapan terima kasih karena sudah membantu kami hari ini"

"Terima kasih banyak" ucap Retna dengan sumringah. Ia pun membungkuk sebelum meninggalkan ruangan itu.

Dengan diantar oleh salah satu petugas, Retna pergi menuju halaman depan kantor polisi. Disana, sebuah mobil patroli sudah menunggu.

Saat masuk ke dalam, sang pengemudi langsung menyapanya.

"Selamat malam," sapanya dengan ramah.

Dalam sekali lihat, Retna langsung mengenali pria itu.

"Ah, anda kan polisi lalu lintas yang berkunjung ke rumah Bu Tenaya waktu itu," kata Retna.

"Hahaha, kau benar" jawab pria itu dengan jenaka. "Hebat. Kau bisa mengingatku dalam waktu singkat. Padahal kita cuma papasan saja waktu itu"

"Aku juga heran kenapa bisa mengingatnya" jawab Retna sambil tertawa

"Nah, apa kita bisa pergi sekarang?"

"Tentu saja!"

Sang polisi lalu lintas memasang sabuk pengaman dan menurunkan rem tangan. Perlahan, mobil itu bergerak meninggalkan kantor polisi menuju jalanan malam.

Menandai dimulainya sebuah tragedi yang tidak terbayangkan sebelumnya

- to be continued -

Highschool SOS (Indonesian)Where stories live. Discover now