File 11: Selama Ini Kita Salah

113 9 2
                                    

"Bagaimana?" tanya Wina kepada Raka, yang sedang membaca pesan di ponselnya

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

"Bagaimana?" tanya Wina kepada Raka, yang sedang membaca pesan di ponselnya.

"Retna sudah ada di mobil patroli," jawab Raka. "Dia bilang sedang diantar pulang oleh polisi lalu lintas"

"Oh, begitu"

Tiba-tiba, seorang petugas polisi mengetuk ruangan itu. Inspektur pun mempersilahkannya masuk.

"Permisi. Ini ada titipan untuk Raka Darsana dan Wina Wiyasa," kata si petugas.

Raka bangkit dari tempat duduknya dengan sumringah. Ia langsung menerima titipan berupa map dokumen itu.

"Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya datang juga," serunya dengan riang.

"Kiriman apa itu?" tanya Wina heran.

"File dari ketua," jawab Raka.

"Sebenarnya, beberapa hari ini aku memaksanya untuk memberitahu hasil penyelidikan yang dia lakukan"

"Awalnya sih ogah-ogahan. Tapi, mungkin karena capek setelah kuteror lewat chat, akhirnya dia setuju untuk mengirimnya"

Raka pun membuka map tersebut. Namun, di dalamnya justru hanya ada beberapa guntingan artikel koran.

Mereka menatapnya dengan heran

"Tunggu sebentar. Isinya cuma kertas-kertas ini saja? Apa maksudnya ini?" kata Wina bingung.

"Kalau cuma lelucon, ini benar-benar tidak lucu!"

Raka mengamati artikel-artikel itu dengan seksama.

"Tidak. Sepertinya artikel-artikel ini adalah petunjuk kasusnya," kata pemuda itu.

Ia pun mulai membacanya satu-persatu. Yang pertama adalah artikel dari The Straits Times, koran asal Singapura. Mereka menulis pernyataan Inspektur Chan Swee Loong tentang dugaan penyelundupan narkoba lewat kapal pesiar.

"Ah. Itu kan informasi yang kita dapat dari Kepolisian Singapura," ujar Inspektur. "Ternyata mereka sudah memberitakannya ya"

"Sepertinya begitu" kata Raka kalem.

Artikel kedua berasal dari koran Jepang Asahi Shimbun. Mereka memberitakan tentang rampungnya pembangunan kapal pesiar Orbis Pacifica, yang dipesan oleh perusahaan Tenaya.

Ketiga adalah artikel New York Times. Mereka menulis berita investigasi tentang pergerakan geng Sanhairen, yang diduga memindahkan narkoba mereka di seluruh dunia ke suatu tempat.

Ketika sedang memilah kertas-kertas itu, salah satu artikel menarik perhatian Raka.

Artikel yang ditulis oleh Bali Post itu membahas tentang aksi protes para polisi lalu lintas yang menuntut kenaikan gaji.

"Oh, ini berita demonstrasi polisi lalu lintas yang waktu itu ya" kata Inspektur.

"Anda tahu tentang ini?" tanya Wina.

"Jelas. Bahkan kantor polisi sempat heboh, setelah lalu lintas kota kacau gara-gara tidak ada polisi yang mengatur jalan"

"Tetapi, gaji polisi lalu lintas memang terlalu kecil. Mereka hanya mendapat tiga juta per bulan, sedikit lebih tinggi dari upah minimum. Pantas saja mereka protes"

Wina mengangguk-angguk setelah mendengar penjelasan Inspektur. Namun, Raka justru tampak terkejut. Ekspresinya mendadak terlihat tegang.

"Benar juga. Ternyata seperti itu!" serunya.

"Eh, apa?" tanya Wina tidak paham

"Selama ini kita salah. Bu Tenaya bukanlah anggota sindikat narkoba itu!" jelasnya dengan nada tinggi.

"Apa maksudmu? Hei, Raka. Jangan-jangan kau..."

"Benar" katanya. 

"Aku sudah memecahkan kasus ini!"

Wajah Wina terlihat gembira ketika pemuda itu mengatakannya. Begitu pula dengan Inspektur. Mereka tak sabar untuk mendengarkan penjelasannya.

Namun, Raka justru kembali tenggelam dalam pikirannya. Sepertinya, ada sesuatu yang terlewatkan.

Tiba-tiba, wajahnya berubah pucat. Ia tampak baru menyadari sesuatu yang penting, dan itu membuatnya panik.

"Inspektur, bukankah seharusnya Retna diantar pulang oleh seorang detektif?" tanya Raka dengan terengah-engah.

Polisi itu menatap Raka dengan wajah heran.

"Tentu saja. Memangnya kenapa?"

"Tapi, yang mengantar Retna sekarang adalah polisi lalu lintas. Bukan detektif!"

Inspektur dan Wina tampak terkejut ketika menyadari hal itu.

"Benar juga. Apa yang terjadi?" kata Wina dengan bingung.

"Gawat" teriak Raka.

"Nyawa Retna dalam bahaya!"

Sementara itu di mobil patroli.....

Brakkkk

"Le...lepaskan" rintih Retna sembari coba melawan tangan si polisi lalu lintas yang membekap mulutnya.

Namun, petugas itu tidak bergeming. Dengan tatapan layaknya pembunuh, ia terus mencengkram rahang Retna dengan buas.

"Diamlah!" seru pria itu dengan ketus.

Setelah memberontak beberapa lama,  gadis itu mulai kehabisan tenaga. Ia pun jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. 

Kini, hanya tuhan lah yang tahu apa yang akan terjadi dengannya

- to be continued -

Highschool SOS (Indonesian)Kde žijí příběhy. Začni objevovat