Doubt

304 54 4
                                    

Disclaimer : Haikyuu! Furudate Haruichi

A/N :
Ch ini ch paling drama yang pernah saya buat, dan ternyata nulis part Sakusa lebih susah 10x lipat daripada nulis partnya Atsumu 😫. Dan sejujurnya saya sulit membayangkan Sakusa jatuh cinta.

Jadi saya gak heran kalau Sakusanya agak ooc di sini. Udah itu aja, sekian curhatan saya. Terima kasih sudah mau membaca ff gaje ini. Oh, ch ini lebih panjang dari sebelumnya, saya harap kalian tidak bosan.

Happy reading.

____________________________

Hinata masih bergelung dalam selimut tebalnya yang hangat. Saat ini, ramuan di dalam botol kaca yang sudah ia buat dijejerkan rapi di depannya tepat di atas meja kecil di ruang tamunya.

Ada 10 ramuan totalnya, dan Hinata berniat untuk membuangnya tanpa tersisa satu tetespun. "Pindah ke Inarizaki sepertinya bukan hal yang buruk." Pikir Hinata.

Udara di Itachiyama semakin dingin dan kering. Di luar sedang badai salju, Hinata beruntung memiliki persediaan kayu bakar yang cukup, kalau tidak, dia sudah menggigil kedinginan tanpa sedikitpun penghangatan.

Tapi, ketika memikirkan gagasan bahwa ia akan pergi, entah kenapa terbesit satu perasaan sedih yang kadarnya nyaris sama dengan kesedihan akan kepergian adiknya.

Hinata semakin menguburkan dirinya dalam-dalam, memeluk kedua lututnya hingga menempel erat di dadanya. Selimut yang menutupi dirinya sampai ke atas kepalanya, sama sekali tidak memberikan kehangatan yang ia inginkan.

■○■○■○

Pagi hari tepat pukul 10, Sakusa duduk di balik meja perpustakaannya. Tidak jauh dari tempat ia duduk, Komori berbaring malas di atas sofa sambil membaca novel romansa yang tidak pernah disentuh olehnya.

Dia dengan malas membaca sederet tulisan dan angka yang berisikan laporan bisnis keluarganya yang menjengkelkan. Dan di bulan Maret nanti dia akan berusia 15 tahun, di bulan itu pula ia secara resmi akan mengambil alih seluruh aset kekayaan keluarganya.

"Hanya sebentar lagi." Batin Sakusa. "Ya– hanya sebentar lagi, dan aku bisa memiliki Hinata." Kata-kata yang seperti doa itu selalu Sakusa ucapkan ketika ia jenuh dan lelah dengan apa yang telah ia kerjakan.

"Sakusa-sama, ada kiriman surat untuk anda." Suara rendah dan serak salah satu pelayan rumahnya membuyarkan konsentrasi yang sudah Sakusa bangun susah payah.

"Surat?" Sakusa mengernyitkan dahinya bingung dan mengambil surat yang diulurkan oleh kepala pelayannya itu. Setelah surat itu sampai ke tangan pemiliknya, pelayan itu pergi setelah membungkukkan badannya.

Sakusa membolak-balikkan surat beramplop hitam dengan segel berwarna emas berbentuk kuil dan sepasang rubah menghiasi lingkaran dalamnya– Sakusa menyipitkan matanya– dia tahu siapa pengirim surat itu.

Miya Atsumu.

Dia merobek surat itu dengan rapi tepat di bagian tengah segel suratnya. Manik hitamnya bergulir membaca setiap kata yang dituliskan dengan tinta berwarna emas.

Atsumu sengaja melakukan itu, pertama untuk menunjukkan identitasnya, dan yang kedua adalah menunjukkan kekuasaannya.

Warna emas yang dipakainya, menandakan kalau dia cukup atau mungkin sangat kaya, sampai-sampai menghamburkan uang hanya demi tinta yang akan digunakan dalam selembar surat yang sebentar lagi akan menjadi sampah di tangannya.

Komori bangun dari acara berbaring malasnya dan menaruh perhatian lebih pada surat yang tergenggam erat di tangan saudara sepupunya itu. Alis tebalnya bertaut heran, kemarahan Sakusa muncul sampai ke permukaan dan membuat Komori enggan mendekatinya.

Evil and GoodWhere stories live. Discover now