The Sun is Gone

302 51 8
                                    

Disclaimer : Haikyuu! Furudate Haruichi

Happy reading!

____________________________

Untuk pertama kalinya Sakusa tertidur tepat di samping Hinata. Beberapa kali dia terbangun hanya untuk memastikan Hinata masih berada di sampingnya– tertidur seperti malaikat.

Sakusa menggenggam tangan Hinata yang sudah jauh lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Di luar masih gelap, salju sudah tidak turun ke permukaan bumi lagi. Jika pagi sudah tiba salju di kota ini pasti sudah setebal 5cm.

Sakusa tidak ingin pulang– besok tepat di pagi hari, kedua Miya bersaudara itu akan datang. Pergi membawa Hinata, menjauh dari Itachiyama. Yang sama artinya dengan pergi meninggalkan Sakusa sendirian.

Jam dinding di rumah Hinata berdetak seirama dengan detak jantungnya. Menghitung sudah berapa banyak waktu yang telah berlalu, selama Sakusa menatap wajah Hinata.

Sakusa terlihat seperti orang bodoh jika sudah menyangkut soal Hinata. Komori beberapa kali mengatakan itu padanya. Sakusa hanya diam tidak merasa terganggu dengan hinaan itu.

Manik hitamnya tidak lepas dari Hinata. Napasnya teratur, ada semu merah tipis dikedua pipinya, dan saat Sakusa menyentuh pipi itu pelan– sedikit dingin, tapi itu adalah hal yang wajar.

Waktu baru menunjukkan pukul 2 pagi. Sakusa sama sekali tidak mengantuk, dan dalam hati ia berharap bahwa besok pagi tidak pernah datang.

■▪︎■▪︎■▪︎

Sinar matahari mulai menunjukkan kehangatannya. Badai salju telah berlalu, suhu mulai sedikit meningkat. Ada kehangatan yang dapat Hinata rasakan dari cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamarnya.

Hinata membuka kedua kelopak matanya, dia bisa merasakan tangan kanannya digenggam oleh seseorang dengan sangat lembut.

Sakusa— dia berbaring miring masih senantiasa menatap Hinata tanpa celah. "Selamat pagi, Omi-san." Sapa Hinata sambil tersenyum cerah. Sakusa terkesima melihatnya dan membalas sapaan itu dengan gumaman singkat.

"Apa kau tidak tidur semalaman, Omi-san?"

"Hanya sebentar." Jawabnya singkat. Sakusa memejamkan matanya sejenak, menarik tangan Hinata hingga menempel di pipinya.

Hinata diam saja tidak melakukan apapun. Sakusa terlihat seperti anak kecil jika sedang bersama dengan Hinata. Haus akan kasih sayang.

Tapi, Hinata tidak berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak menyayanginya. Dia juga memiliki saudara sepupu yang selalu bersamanya, ke mana pun dan di mana pun Sakusa membutuhkannya.

Sakusa dipaksa tumbuh dewasa sebelum usianya. Dan Hinata datang mengisi kehidupan Sakusa yang monoton dengan jutaan warna yang dimilikinya.

Takdir menuntun Sakusa pada Hinata dan sebaliknya. "Apa kau lelah, Omi-san?" Sakusa tidak menjawab pertanyaan Hinata. Matanya masih terpejam, tapi ia tahu kalau Sakusa sama sekali tidak tidur.

"Kau bisa tetap tidur di sini," katanya. "Lingkar mata hitammu semakin menebal." Hinata masih melakukan percakapan monolognya.

Keheningan menyelimuti mereka. Hinata tidak berusaha membuka percakapan dengan Sakusa lagi. Mata hazelnya mengamatinya– matanya masih terpejam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya harus berkonsentrasi penuh.

Hinata dengan ragu-ragu, menyentuh helai rambut ikal Sakusa yang menutupi sebelah matanya. Dia menyentuhnya dengan sangat lembut. Wajahnya terlihat lelah dan pucat.

Evil and GoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang