Prolog

795 130 45
                                    

"Sialan!" Pria tua itu memukul meja kayu yang ada di hadapannya. Ia masih menatap layar laptopnya sambil memantau grafik perusahaannya yang sedang mengalami penurunan omset besar-besaran.

"Bisa bangkrut kalo gini!"

"Sabar, Pak," ucap salah seorang pegawainya. Mereka hanya berdua di dalam ruangan kerja direktur.

"Ini sudah diambang kehancuran! Sudah 70% pegawai yang terpaksa harus saya pulangkan ke rumah mereka. Bisa saja, kamu yang selanjutnya!" Pria itu mengambil bungkus rokok di kantong kemejanya, ia membakar ujungnya, lalu menghisapnya. Kepulan asap keluar dari mulutnya. Ia tak peduli lagi dengan ruangan yang ber-AC ini, mengingat stres yang sangat tinggi telah menyetubuhinya

Tak lama setelah menghisap tembakaunya, pria itu memegang dadanya, ia mencengkeram dadanya sendiri sambil menatap pegawainya yang berada tepat di depan mejanya.

"Tolong ...," ucapnya lirih memohon pertolongan. Tangan kanannya masih memegang dada kirinya, sedangkan tangan satunya berusaha meraih si pegawai.

"Pak! Kenapa?" Pegawai itu hanya mampu menatap direkturnya yang tampak sedang kesakitan.

"Jantung saya ...," Ia berusaha bangkit, tetapi karena rasa sakit yang ia derita, dirinya justru terjatuh di lantai.

Si pegawai menyeringai dan malah berjalan menjauhinya menuju satu-satunya pintu masuk dan keluar, lalu mengunci pintunya. Ia juga mengambil rokok yang berada di kantong bajunya, serta sebuah buku catatan kecil dari kantong celananya. Si pegawai berjalan balik ke arah direktur sambil membakar ujung rokoknya. Pria itu berjongkok di depan direkturnya yang sedang berbaring di lantai, lalu menghisap sebatang rokok yang beraroma bunga kantil.

"Kali ini bunga kantil, ya?" ucapnya sambil berjongkok menatap direkturnya yang sedang sakaratul maut.

"Darah dibayar darah, gigi dibayar gigi, telinga dibayar telinga," ucapnya, lalu menghisap rokoknya kembali sambil membaca buku catatannya. "Nyawa dibayar nyawa," lanjutnya lagi sambil menonton detik-detik terakhir direkturnyanya meninggal.

Kini orang yang kerap disapa direktur itu telah terbujur kaku tak bernyawa di hadapannya, ia memang memiliki riwayat sakit jantung.

"Tinggal bagaimana cara kita memicunya kan, Tuan?" ucap si pegawai sambil menutup buku catatannya. Ia berbicara pada seorang pria yang muncul entah dari mana. Pria itu memakai pakaian yang serba hitam, mulai dari topi panjangnya, hingga sepatu yang ia kenakan, pria itu juga membawa tongkat.

"Kerja bagus, Smooky." Seringai pria itu mengiringi pujiannya pada orang yang dipanggil dengan nama Smooky.

"Begitulah karma," ucap Smooky sambil sesekali menghisap rokoknya, lalu membuang asapnya sembarang. "Bukan begitu, Tuan Yama?"

Konon, di suatu tempat yang antah berantah tinggal tiga orang yang sebenarnya tidak hidup, tetapi tidak juga mati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Konon, di suatu tempat yang antah berantah tinggal tiga orang yang sebenarnya tidak hidup, tetapi tidak juga mati. Sebut saja Alam Suratma, alam penghubung antara Dunia dan Akhirat, atau sebut saja alam kematian. mereka bertiga tinggal di sebuah cafe bernama Karma.

Arwah gentayangan dan juga arwah-arwah yang baru saja meninggal dan tak sadar bahwa mereka telah mati biasanya selalu menjadi pelanggan utama dari cafe Karma ini.

"Sebelum menuju Akhirat apa ada penyesalan di Dunia ini?"

"Apa ada karma yang ingin anda balaskan pada seseorang?"

Mengemban tugas dewa kematian untuk mengantar jiwa-jiwa yang tersesat ke tempat yang seharusnya. Tentu saja ada harga yang harus dibayar. Para arwah yang menuntut balas atas ketidak adilan semasa hidupnya harus mengorbankan sejumlah pahala, tentu saja besarnya pahala tergantung beratnya permintaan.

 Para arwah yang menuntut balas atas ketidak adilan semasa hidupnya harus mengorbankan sejumlah pahala, tentu saja besarnya pahala tergantung beratnya permintaan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Karma CafeWhere stories live. Discover now