Karma

458 75 51
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng tanda kehadiran pengunjung

"Selamat datang di Karma cafe."

Seorang pria paruh baya masuk ke dalam kafe, ia nampak celingak-celinguk menatap setiap interior yang ada di dalam sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Seorang pria paruh baya masuk ke dalam kafe, ia nampak celingak-celinguk menatap setiap interior yang ada di dalam sana. kafe dengan nuansa klasik, dengan ukiran-ukiran aksara jawa kuno di dalamnya menghiasi setiap sudut ruangan. Musik keroncong santai mengiringi ruangan itu. Tentu saja, aroma kopi dan roti menempel pada setiap sisi-sisi kafe ini.

"Selamat datang," ucap seorang waiters dengan senyumnya yang hangat menyambut pengunjung yang baru saja datang. Pria yang paling tampan di kafe ini, matanya agak sipit dibalut senyumnya yang seakan menyembunyikan banyak makna, bisa berarti ramah, bisa juga berarti licik.

"Ini, di mana?" Pria itu masih bingung, bagaimana tidak? Beberapa detik yang lalu ia baru saja tertabrak sebuah mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi, dan sekarang ia berada di sebuah kafe dengan pemandangan ke arah luar yang tak terlal...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ini, di mana?" Pria itu masih bingung, bagaimana tidak? Beberapa detik yang lalu ia baru saja tertabrak sebuah mobil yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi, dan sekarang ia berada di sebuah kafe dengan pemandangan ke arah luar yang tak terlalu jelas akibat tebalnya kabut.

"Silakan duduk dulu, Tuan." Pelayan itu membawakan daftar menu. Ia juga berusaha menenangkan pria yang baru saja datang dengan wajah bingung.

Pria itu heran, ia menatap daftar menu yang kosong.

Gimana cara mesennya? Orang jelas-jelas enggak ada tulisannya!

"Apa ada penyesalan yang tertinggal?" tanya si pelayan.

"Penyesalan?" Pria itu memicingkan matanya, menatap pelayan tersebut dengan sejuta tanda tanya.

"Darah dibayar darah, gigi dibayar gigi, telinga dibayar telinga, nyawa dibayar nyawa." Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya. "Karma."

"Karma?" Pelanggan itu masih saja bingung.

Si pelayan menghela napas. Ia mengambil pisau untuk memotong roti dari kantong apronnya. Namun, ia tak menggunakan itu untuk memotong roti, tetapi dengan sangat cepat menusuk telapak tangan pelanggannya yang sedang berada di atas meja.

Pelanggannya berteriak histeris. "Apa yang kau lakukan?!" Ia membentak pelayan gila itu.

"Apa itu terasa sakit, Tuan?" tanya pelayan dengan senyumnya yang sama sekali tak mencerminkan rasa penyesalan akibat perbuatannya barusan.

Karma CafeWhere stories live. Discover now