Part 3: Bad News

31 18 15
                                    

"Tak ada yang terjadi jika Tuhan tak menghendaki. Yakinlah ada hal baik yang menunggu setelah ini."

[ Different: Dad's Death ]

• • •

Sore itu, di sebuah Cafee ternama. Seorang gadis dengan telatennya tengah menyiapkan sebuah pesanan dari meja nomor delapan. Ya, gadis itu Steffani.

Setelah diusir dari rumahnya sendiri kala itu, ia harus bekerja paruh waktu demi memenuhi kebutuhannya. Tentu dibantu oleh Sarmi.

Ia menampakan wajah yang begitu ceria seakan tak ada masalah yang menghampirinya.

Hari ini hari kedua dirinya diterima di Cafee itu sebagai karyawan paruh waktu. Cukup beruntung karena sebenarnya Cafee itu tidak menerima karyawan seusia Steffani yang belum lulus SMA itu.

Tak dapat dipungkiri, makhluk-makhluk yang dianggap telah tiada seringkali memunculkan diri di hadapan Steffani. Tapi karena gadis itu tak mau terlihat janggal pada dirinya, ia memutuskan untuk tidak berinteraksi dengan mereka. Kecuali di tempat sepi.

"Silakan dinikmati pesanannya, Kak," ucap Steffani sopan pada pelanggan di meja nomor delapan.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, dan gadis itu belum juga usai dengan pekerjaannya. Tinggal satu jam lagi shift kerjanya berakhir.

Steffani kian hari dianggap sebagai gadis ketus nan cuek pada orang lain. Kecuali pelanggan-pelanggannya seperti tadi, sebagai bentuk profesional dalam bekerja.

Gadis itu bukan bermaksud pendiam dan malas berinteraksi dengan orang lain, hanya mencoba meminimalisir resiko berhadapan dengan kata sentuh.

Ia tak suka dekat dengan orang lain karena beberapa kemampuan di luar akal yang dimilikinya. Semenjak ayahnya tiada, hanya Sarmi yang bisa mempercayai secara penuh apa kemampuan yang ada pada dirinya. Meskipun ada orang lain yang mengetahuinya, ya hanya sekedar tahu, entah percaya atau tidak. Ia yakin orang lain akan sulit untuk menerima semua itu.

"Malam, Steffa," sapa seseorang dari belakang Steffani.

Mendengarnya, gadis itu mendengus kesal. Sebatas hari kemarin, gadis itu sudah tahu apa yang harus ia hindari di tempat kerjanya. Termasuk pria ini.

"Panggilan saya Steffy, bukan Steffa," koreksinya.

Senyum pria itu kian mengembang, senyum yang sangat memuakkan bagi Steffani.

"Baru sehari aja cantiknya udah nambah, ya," tambahnya.

Steffani tersenyum paksa. "Maaf, lagi gak ada receh," celetuk gadis itu.

Alvito Brawijaya, pemuda yang empat tahun lebih tua dari Steffani, adik dari pemilik Cafee itu selalu saja menggoda Steffani dengan kalimat-kalimat recehnya.

Bahkan hari kemarin, saat pembukaan Cafee itu, ia terus membuntuti Steffani kemanapun gadis itu pergi. Kecuali toilet.

"Astaga gadis cantik ini ketus terus ya," ujarnya seraya menyentuh pipi Steffani, yang langsung ditepis kasar oleh gadis itu.

Jika saja Steffani tidak bekerja di tempat ini, pasti ia sudah melempar pemuda itu jauh-jauh.

Sayangnya, gadis itu harus mempertahankan pekerjaan itu kecuali ia menemukan pekerjaan lain saat ini.

Different: Dad's Death | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang