Part 8: Monster Girl

26 16 6
                                    

"Jangan pernah seenaknya meremehkan seseorang. Karena kita gak tahu, sosok apa yang ada di baliknya."

[ Different: Dad's Death ]

• • •

Sudah dua hari setelah Steffani mengunjungi TKP pembunuhan Rio, tapi belum ada kabar lanjut dari pihak kepolisian maupun divisi khusus.

Steffani tak terlalu memikirkan hal itu, ia pikir ia harus tetap menjalani hari-harinya seperti biasa. Jangan sampai ia larut dalam pikiran ataupun stres dan membuat tubuhnya drop.

Hari ini hari Kamis, hari yang paling disukai oleh kelas 12 IPA-2. Di hari ini biasanya sering terdapat jam kosong, dikarenakan guru yang mengajar selalu memiliki jadwal padat. Jadi mereka hanya lewat dan melihat kondisi kelas agar tetap kondusif, atau memberi tugas yang nanti dikumpulkan oleh ketua kelas.

Steffani terlihat tengah menenggelamkan wajahnya pada lengan yang ia taruh di atas meja, ia sangat bosan saat ini. Pemuda di sampingnya pun tengah tertidur dengan pulas.

Steffani berpikir, bagaimana pemuda itu bisa sangat cepat terlelap dalam tidurnya. Rasanya baru beberapa menit yang lalu ia dikerumuni para siswi.

"Steffy," sapa seseorang pada Steffani. Ia adalah Tiara, gadis yang sebelumnya adalah teman dekat Steffani. Sampai akhirnya Steffani memilih berpindah tempat duduk tanpa alasan.

Steffani mendongak menatap gadis itu seakan bertanya. "Apa?" tanyanya.

"Steffy lo kenapa, sih? Kenapa lo gak pernah ikut nimbrung lagi sama kita-kita?" ucap gadis itu.

"Gapapa," sahut Steffani lantas kembali menenggelamkan wajahnya di lipatan lengan.

"Ra, gabung yuk!" ajak Adhiyasa atau kerap disapa Adhi. Pemuda yang selalu memanggil Steffani dengan sebutan Ara. Entahlah, mungkin namanya terlalu sulit untuk disebut. Jadi orang-orang memanggilnya dengan sebutan apa saja yang sesuai. Dan gadis itu tak mempermasalahkannya.

"Ayolah, Ra. Udah lama banget lo gak pernah komunikasi sama kita."

"Kita ngerasa ada yang kurang," tambah pemuda itu.

Levin yang sedari tadi tertidur, kini membuka matanya karena mendengar suara bising itu.

Levin melihat gadis di sebelahnya menghela napas jengah. Dengan kemampuannya, Levin mencoba membaca pikiran Steffani.

Dan, ah tidak. Dia lupa Steffani juga memiliki kemampuan yang sama dengannya. Meskipun gadis itu tak bisa membaca pikiran, tapi seseorang dengan kemampuan lebih akan seolah memiliki perisai. Dan perisai itu berguna untuk melindungi dirinya dari kemampuan orang lain.

"Ini kayak bukan Ara yang gue kenal," ucap Adhi.

Gadis itu menggeleng menjawab semua pertanyaan temannya. Levin tahu, ada sesuatu yang membuatnya menjauh dari mereka. Tapi apa?

Kemampuannya? Rasanya ia yang memiliki kemampuan itu pun tak begitu menjauh dari keumuman.

"Kalo gue telepati, dia bisa denger gak ya?" batin Levin.

"Gue coba deh."

Pemuda itu memfokuskan diri, mencari bayangan Steffani dalam pikirnya. Bukan apa-apa, ia hanya menghindari kemungkinan ada orang yang mendengar percakapan mereka.

"Lo bisa denger gue?" ucap Levin dalam telepatinya.

Badan Steffani menegak. Apa ia tak salah dengar?

Gadis itu mendongak, melirik Levin yang tengah menatap lurus kemudian menoleh ke arahnya.

Levin tersenyum, lantas mengangguk seakan mengerti yang ditanyakan gadis itu.

Different: Dad's Death | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang