Prolog

1.8K 172 84
                                    


Hidup itu bagaikan pelangi, sejatinya memiliki aneka ragam warna, tetapi tak serupa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hidup itu bagaikan pelangi, sejatinya memiliki aneka ragam warna, tetapi tak serupa. Kadang merah seperti mawar berduri, sesekali berwarna hijau bagaikan rerumputan, terkadang berwarna biru laksana samudra dan terkadang pula berwarna cerah seperti pagi hari ini. Hari ini adalah hari pertama Andis Sagara bekerja, setelah beberapa bulan menganggur akhirnya tiba hari di mana ia resmi menjadi crew di salah satu stasiun televisi besar di Jakarta.

Andis memang pria yang terbiasa bangun pagi, ia sudah bersiap dengan kemeja abu-abu dan celana berwarna mocca. Sambil membunuh waktu, ia menikmati udara pagi hari di balkon apartemennya. Andis duduk menatap mobil-mobil yang sedang berlalu lalang di bawah, sambil menyeruput kopi racik tubruk hitamnya.

Kopi hitam ya? Andis menatap sendu ke dalam isi cangkirnya.

Kopi hitam selalu mengajarkan manusia tentang caranya menikmati pahitnya hidup. Ya begitulah salah satu kutipan yang pernah diabadikan di dalam cerita, Mantra Coffee. Coba jawab! Mana yang lebih pahit, kopi yang dibiarkan dingin karena hangatnya canda dan tawa bersama seorang sahabat, atau kopi panas yang dinikmati tanpa seorang sahabat?

Pahit semakin pahit, rasa kopi yang masuk ke dalam kerongkongan Andis. Bagaimana tidak? Setiap tetes kopi yang menyentuh lidahnya mengandung kerinduan. Lelah rasanya jika setiap tegukkan kopi itu diiringi dengan sebuah nostalgia.

Jam telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, Andis beranjak dari duduknya. Setelah membereskan bekas minumannya, Andis berjalan kaki menuju kantor barunya. Andis tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya bekerja, sebenarnya ia tak mau tinggal di sebuah apartemen, tetapi Ayah dari sahabatnya, Tama, yang bersikeras membujuknya tinggal di sana, mengingat gedung itu milik perusahaan ayahnya Tama. Rumah Andis cukup jauh dari kantornya, setidaknya Andis tinggal secara cuma-cuma di sana dan bisa mengirit kebutuhan ongkosnya.

Sepanjang jalan, Andis merasa gugup, entah bagaimana lingkungan barunya, bagaimana orang-orang di sekitarnya. Hingga seseorang yang sedang berlari menabraknya.

"Sorry," ucap pria itu sambil sedikit menoleh ke arah Andis dan melanjutkan langkahnya. Ia terlihat sangat tergesa-gesa.

Andis menatapnya heran, orang itu mengenakan seragam dari kantor televisi yang sama dengannya, hanya saja Andis belum mendapatkan seragamnya karena ia harus melewati masa percobaan selama tiga bulan terlebih dahulu.

Sesampainya Andis di kantor, ia bertemu dengan seseorang yang merupakan staff HRD (Human Resources Development). Andis diajak berkeliling kantor dan berkenalan dengan semua divisi, setelah itu Andis diajak masuk ke sebuah ruangan yang penuh dengan komputer. Andis adalah seorang editor. HRD memberitahu semua job description yang harus Andis kerjakan. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu adalah tim Andis, mereka semua menyambut kehadiran Andis dengan sangat ramah.

"Kenalin, nama gue, Ramzi Irsan Syahreza," ucap seorang pria yang cukup good looking, ia berkulit putih dan bermata agak sipit, tetapi tak terkesan cina atau jepang.

Hati Yang Miris Dibalik Jiwa Humoris [TERBIT]Where stories live. Discover now