2 : Rindu Tak Berwadah

723 142 133
                                    

Hal paling menyakitkan di dunia adalah ketika kita disetubuhi oleh rindu yang tak terbayar oleh pertemuan. Mereka benar-benar merobek-robek akal pikiran kita, merubah yang tenang menjadi gelisah, yang pemikir menjadi perasa, dan yang tak peduli menjadi peduli.

.

.

.

"Malam," sapa Andis dalam chatnya.

Udah tau ga pernah dibales, masih aja gue chat mulu. Dis, Andis.

"Maaf ya, Mbak kalo masih sering lambat, saya masih mencoba beradaptasi," lanjut Andis.

Andis merebahkan dirinya dikasur. Entah, mungkin karena sering menjadi ceng-cengan di kantor, ia jadi sering memikirkan sosok Indri Dwi Kencana. Andis nyaris tertidur, tetapi ponselnya berbunyi tanda sebuah pesan masuk.

"Gapapa kok, santai aja, nanti juga terbiasa sendiri."

Terbiasa sendiri? Ambigu sekali, aku sudah terbiasa sendiri, Mbak, pikir Andis.

Indri hampir tak pernah membalas pesan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Awalnya Andis tak peduli dengan ceng-cengan teman-teman barunya, apa lagi Nayla. Jujur saja Andis memang menyukai sosok Indri, tapi hanya sekedarnya saja, tak lebih. Namun, lambat laun Andis seperti terjebak dalam rindu tak berpuan, sebongkah rindu yang dibiarkan meluap tanpa wadah.

Keesokan harinya, entah mengapa Indri yang selalu datang dipenghujung waktu kini datang lebih pagi, bahkan Nayla saja yang biasanya menjadi saingan Andis dalam berburu absen pertama kini belum menunjukkan batang hidungnya.

"Pagi," sapa Andis.

Indri yang sedang fokus menatap layar komputer sontak menoleh ke arah Andis, "pagi," balasnya. Andis menghampiri Indri untuk melihat apa yang ia kerjakan sepagi ini, rupanya Indri tak bekerja, ia hanya mendownload beberapa film saja.

"Jangan kaget, kalo lagi butuh asupan drama, aku dateng lebih pagi dari siapa pun," ucap Indri yang menyadari kehadiran Andis di belakangnya.

Aroma rambut Indri menusuk tajam kedua lubang hidung Andis, seakan mendobrak paksa untuk masuk hingga ke pintu hatinya,

Brak! Brak! Brak! "Woy buka woy! Gua mau masuk!" ucap aroma Indri.

Andis mengambil setangkai mawar dari dalam tas.

"Ini buat, Mbak," ucap Andis.

"Perasaan kamu bawa bunga mawar terus setiap hari?" tanya Indri penasaran.

"Ya, kebetulan usaha," jawab Andis sambil tersenyum.

Usaha untuk mendapatkanmu, hiyahiyahiya, batin Andis.

"Enggak rugi? Kamu kasih gratis buat seisi studio loh?"

"Enggak kok, itu mawar sisaan," jawab Andis dengan senyumnya. Indri mengambil mawar itu.

Hari semakin siang, lambat laun penghuni studio semakin ramai, Nayla masuk ke ruang studio dengan jaket yang tebal dan mengenakan masker berwarna putih.

"Ada yang udah menyerah buat persaingan siapa yang dateng paling pagi nih kayaknya," ucap Andis si anak baru yang tengil.

"Halah, bilang aja lu kangen kan ngeliat gua yang selalu dateng pagi?" ledek Nayla sambil menarik napasnya diiringi suara aneh yang sangat khas dengan napas flu.

Setelah itu mereka semua bekerja, Indri sudah selesai dengan film-filmnya, kini mereka tiba pada segmen berita pagi.

"Sedot terus tu ingus," sindir Andis pada Nayla yang kerap menarik ingusnya agar tidak keluar dari hidungnya. Hal itu membuat Ramzi tersenyum.

Hati Yang Miris Dibalik Jiwa Humoris [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang