#5 - Keputusan

94 38 11
                                    

"Memperjuangkan sesuatu yang tidak ditakdirkan semesta itu sia-sia."

***

"Cepat sembuh, Kak! Jangan lupa awali pagimu dengan sarapan bukan harapan biar gak sakit terus-terusan." celetuk Kristin menghampiri kakaknya yang sedang sekarat itu.

"Sekali lagi lo bilang begitu bakal gue cubit!"

"Iya, iya. Maaf kak."

"Jangan lama-lama sakitnya. Kasihan Kak Radhitya, pasti sedih gak bisa ketemuan sama kamu." celetuknya lagi.

Chintya mencubit tangan kiri adiknya, "Titin! Bisa gak sih lo berhenti ledekin gue?!"

"Aduh, kak. Sakitt tau!" Kristin merintih kesakitan.

"Abisnya lo ngeselin banget sih!" Chintya mendengus kesal.

"Ya udah, Kristin mau berangkat sekolah dulu." Kristin menyodorkan tangan kanannya, tak sadar Chintya menyalami adiknya.

"Eh, kok nyalaminnya ke gue?" Chintya terkejut ketika Kristin mencium punggung tangannya.

"Katanya seorang adik harus bersikap sopan pada kakaknya. Gimana sih?"

"Ya bukan gitu juga konsepnya, Titin!" Kristin berlari keluar rumah, menjauhi kakaknya yang tak kuasa menahan amarah.

Sudah tiga hari Chintya tidak bersekolah. Saat ini ia terbaring lemas di atas pulau kapuk. Ibunya pun menyuruhnya untuk beristirahat dan tidak masuk sekolah hingga keadaannya benar-benar pulih. Sudah ada lauk dan obat-obatan yang tersedia di meja belajar yang ada di sampingnya, namun belum sempat ia habiskan. Benar saja, peristiwa penolakan hati di koridor sekolah itulah yang membuat Chintya tidak nafsu makan.

Chintya sedang sakit panas dan demam.

Sebenarnya kondisi Chintya sudah membaik, selain itu kepalanya tak lagi merasakan pusing. Tetapi masih ada satu penyakit yang masih belum disembuhkan, dan itu menjadi alasan baginya untuk tidak masuk sekolah: Sakit hati.

Chintya tidak lagi melihat perkembangan aktivitas Radhitya di media sosial. Chintya juga telah bersikeras menghentikan khayalannya tentang Radhitya yang kerap merasuki pikirannya. Bahkan Chintya sudah tak ingin mendaratkan hatinya pada sang taksiran. Tapi rasanya ketiga hal itu belum berhasil membuatnya sembuh.

"Apakah semesta marah padaku hingga memberi rasa sakit yang tak kunjung sembuh?" Apa benar Radhitya bukan lelaki yang ditakdirkan semesta untukku?" ucap Chintya dalam pikirnya.

--000--

Radhitya bergegas menuju kelasnya setelah mengumpulkan tugas matematika di ruang guru. Akhir-akhir ini Radhitya merasakan ada sesuatu yang berbeda, namun apa? Radhitya hanya bisa menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Eh, Nafisa." Radhitya menyapa Nafisa yang sedang berada di luar kelas.

Nafisa hanya membalas dengan senyuman manis karena dia sedang mengunyah gorengan.

"Tumben lo sendirian, hmm.. temen lo dimana?" Radhitya akhirnya berhasil mengutarakan isi otaknya yang tersembunyi.

"Chintya? Dia nggak masuk, sakit panas. Mungkin gara-gara habis kamu tolak." ucapan Nafisa membuat Radhitya tertohok, seolah-olah ia mendengar ada dentuman keras yang menembus telinganya.

RADITHYA & CHINTYA (HIATUS)Where stories live. Discover now