#6 - Menunggu

94 33 5
                                    

"Hatiku telah retak, tak perlu mencipta sajak yang membuatku semakin sesak. Bukankah pernah kukatakan bahwa aku muak dengan jarak?

***

Jam dinding di kamar telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, namun Chintya masih asyik bermain dengan dunia mimpi. Padahal sudah tiga puluh menit alarm ponselnya berbunyi, tapi rasanya tidak mempan membangunkan gadis yang meringkuk dibalik selimut kesayangannya itu.

Chintya terbangun setelah berjuang melepaskan diri dari mimpi indahnya. Suara cempreng dari sang adik berhasil membuat kedua netranya terbuka. Chintya menatap ke atas, melihat jam dinding lalu berteriak.

"AAAAAAAAAAAAA......"

"Astaghfullahaladzim...kenapa kak?" tanya Kristin menghampiri kakaknya. Kristin sudah terbiasa dengan tingkah kakaknya yang suka berteriak setiap bangun kesiangan.

"TITIN, KENAPA LO NGGAK BANGUNIN GUE?!" tanya Chintya masih dengan nada berteriak.

"Bukannya kakak pernah bilang, kalau kakak selalu mimpiin Radhitya tiap tidur malam dan aku nggak boleh bangunin kakak?" tanya Kristin dengan memasang wajah tak mengerti apa-apa.

"Tapi hari ini gue nggak mimpiin Radhitya!" ketus Chintya, sementara sang adik hanya bisa menggeleng. "Gimana gue tau kalau lo gak mimpiin dia. Lama-lama bisa gila nih kakak gue." kata Kristin dalam hati.

"Lo nggak mau berangkat bareng gue?" tanya Chintya.

"Nggak. Nggak mau. Salahnya sendiri marathon drakor semalaman. Aku berangkat duluan ya, kak. Bye....." Kristin melambaikan tangan ke arah kakaknya. Kristin memilih berangkat sekolah sendiri dengan menaiki sepeda, daripada diangkut bersama kakaknya karena sudah pasti ia akan terlambat.

Chintya memajukan bibir bawahnya, hanya bisa tertunduk pasrah. "Yaudah deh. Hati-hati, lihat kanan-kiri. Jangan meleng." ucapan Chintya dibalas dengan isapan jempol dari sang adik yang perlahan makin menjauh dari pengelihatannya.

--000--

"Astaga. Cobaan apa lagi yang kau berikan, semesta? Andai tak ada lampu lalu lintas disini pasti aku takkan terlambat." gerutu Chintya setibanya di perempatan jalan. Chintya mengeluh karena lalu lintas memancarkan warna merah disaat Chintya hendak melewati zebra cross.

Keringat demi keringat mulai bercucuran membasahi seragam yang dikenakannya. Kedua tangannya terasa licin. Chintya menyapu pandangannya ke sekeliling. Jalanan tampak masih lenggang. Chintya kembali menatap lampu lalu lintas, wajahnya penuh cemas. "Ayo...kapan hijaunya nih?!" gumamnya penuh harap.

Chintya mempercepat laju motornya ketika lampu hijau berhasil menyala. Tak peduli bagaimana respon Pak Joko ketika mengetahui bahwa dia datang terlambat nantinya. Chintya yakin sang penjaga sekolah tetap membukakan pintu gerbang untuknya, walaupun pada akhirnya ia harus dihukum guru BK.

--000--

"Tolonglah, Pak. Masa nggak kasihan sama Chintya? Kali ini aja pak, plisss......" rengek Chintya dengan memasang wajah memelas, agar Pak Joko memberikan kesempatan baginya untuk masuk ke dalam sekolah.

"Sudah berulang kali saya ingatkan, jangan tidur larut malam, Nona. Bukannya saya tidak ingin membuka pintu buat kamu, tapi guru BK menyuruh saya agar yang terlambat tidak dibolehkan masuk." sahut Pak Joko yang sudah jenuh mendengar rayuan Chintya. Secepat apapun Chintya melajukan motornya, bangun kesiangan tetap menjadi masalah utama mengapa Chintya datang tidak tepat waktu. Kali ini Chintya hanya bisa berpasrah, wajahnya menggambarkan tidak ada harapan. Sia-sia gue habisin bensin dan tenaga kalau gue nggak diijinin masuk. Ucap Chintya dalam pikirnya. Chintya memang tipe wanita yang tak ingin disalahkan dalam kondisi apapun.

RADITHYA & CHINTYA (HIATUS)Where stories live. Discover now