20. Tabula Rasa

633 60 0
                                    

"...ini..?" Bingung sedikit menghampiri [name] saat ia berhenti terjatuh dalam gelap tak berujung. Lalu ia berakhir dengan melayang. Tubuhnya terasa begitu ringan, dan ia tidak merasakan apapun. Sekelilingnya hanya ada hitam yang membentang. Ia merasa seperti sehelai bulu putih yang melayang dalam gelapnya malam.

—oh, bukan. Bukan gelap.

Memang tempat antah berantah itu dikelilingi hitam semata, namun gadis berhelai [haircolor] itu masih bisa melihat anggota tubuhnya. Perlahan, suara bernada rendah yang lembut tertangkap oleh pendengarannya.

Menutup sepasang bongkah [eyecolor] sesaat demi menajamkan fungsi indera-nya yang lain, [name] menyadari suara itu bukanlah suara perempuan maupun laki-laki.

Benar-benar ambigu. Ia sedikit penasaran, mahkluk androgini[1] seperti apa yang membuat suara-suara itu. Mencoba melangkahkan kaki demi merobohkan dinding penasaran yang mulai terbentuk, ia bisa mendengar suara-suara itu menjadi lebih jelas.

—atau, suara itu memang menjadi lebih kencang.

Lama kelamaan suara itu terdengar menjadi lebih banyak. Begitu runyam— namun terdengar harmonis bernada. Seolah [name] tengah mendengar lantunan sebuah nyanyian. Atau mungkin sebuah do'a..?

Entahlah. Yang pasti, ia memutuskan untuk terus berjalan— meski ia tidak tahu ingin ke arah mana. Ia hanya membiarkan sepasang tungkai-nya menentukan arah sesuka mereka sementara telinga-nya fokus mendengarkan. Sekarang, suara ricuh itu menjadi lebih jelas...

"Selamat datang di tempat ini! Di sini kau akan menemukan siapa jati dirimu yang sebenarnya!" Lalu tawa melengking menyerta. Anehnya, tawa itu tidaklah menusuk pendengaran barang satu hentak 'pun jua.

Kalimat itu membuat tertegun. Jati diri..? Sesuatu yang ambigu seperti itu sesungguhnya hampir mustahil untuk ditemukan. Hanya segelintir orang yang mendapat kesempatan untuk menemukan seperti apakah lembar takdir akan otentikasi dirinya yang akan dijalani sepanjang hidup hingga ujung gerbang akhir.

Dibutuhkan begitu banyak aspek, mencakup riwayat hidup selama beberapa saat. Juga aspek lain seperti aspek psikologis, sosial, budaya, dan lingkungan bagi individu itu untuk tumbuh dan berkembang. Semua bagai benang tipis transparan yang dipilin— ditenun menjadi satu lembar utuh bentangan takdir.

Itu semua tetap tidaklah memberi jawaban pasti. Maka para tetua mengatakan bahwa sebaiknya manusia tidaklah menggali terlalu dalam. Cukup memiliki rasa penasaran dalam takaran wajar untuk hal duniawi saja. Bukan hal tentang sebuah eksistensi atau semacamnya. [Name] adalah manusia normal, yang tidak akan memikirkan hal sejauh itu. Ia hanya akan menyerahkan tali kendali atas semuanya pada genggaman nasib.

Melangkahkan kaki, sepertinya [name] merasakan suatu benturan. Dari tekstur yang dirasa, itu adalah sesuatu yang padat dan berkayu, seperti... sebuah rak buku. Kali ini seakan cahaya mulai menelusup dari beberapa sisi, tempat itu dapat terlihat dengan jelas. Namun, bukanlah warna-warni normal yang terlihat, justru absurditas skala abu-abu yang membanjiri sinyal retina.

Bentangan rak-rak buku tanpa warna apapun selain skala abu-abu mulai terlihat semakin jelas, dan gadis itu tidak bisa berhenti begitu saja. Perjalanannya harus dilanjutkan, ia harus menemukan jalan keluar dari tempat aneh ini. Semakin ia berjalan, bukanlah cahya harap dari sebuah jalan keluar yang ditemukan. Melainkan kesadaran akan realita bahwa ia berada dalam labirin rak-rak buku.

Skala abu-abu sialan yang mewarnai benar-benar semakin menyesatkan. Gadis dengan surai [haircolor] itu sudah tidak mengenali ke mana ia melangkah, sampai—

—sebuah buku dengan satu-satunya sampul berwarna menarik atensi netra-nya.

Dengan sampan penasaran yang sedikit diwarnai rasa takut, ia memberanikan diri meraih buku dan membukanya. Berusaha mengarungi isi buku itu, mengharap akan sebuah jawab untuk satu jalan keluar.

Nostalgia (Sanemi x Reader)Where stories live. Discover now